Pemilu Serentak Wajib Dievaluasi, Berikut Opsinya
SUMENEP, (News Indonesia) — “Sepanjang perjalanan saya melakukan pengawasan pemilihan umum sejak tahun 2003 hingga 2019, ini adalah Pemilu paling buruk, dalam kurun waktu sejarah peradaban pesta demokrasi di Indonesia”.
Kritik di atas disampaikan mantan komisioner Panwaslu Sumenep, Zamrud Khan, agar pemilihan Umum (Pemilu) 2019 menjadi bahan renungan bersama sebagai evaluasi, apakah harus kembali kepada sistem lama, atau menggunakan opsi lain.
“Pemilu 5 in One (Pemilu serentak), lima surat suara dalam satu momentum seperti sekarang ini merupakan yang terburuk dari sejarah peradaban pesta demokrasi di Indonesia, untuk itu harus dievaluasi bersama. Mau kembali kepada sistem lama antara Pileg dan Pilpres dipisah, atau teknis lain menggunakan e-Voting semisal,” terangnya, Sabtu (18/5/2019).
Mengenai Elektronik Voting (e-Voting) sendiri, tahun 2010 sudah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan e-Voting sudah bisa digunakan, namun ternyata negara belum siap menggunakan itu.
“e-Voting sebenarnya sudah bisa digunakan dilihat dari hasil putusan MK tahun 2010, hanya saja negara kita nampaknya belum siap, masih menggunakan sistem konvensional (coblos),” imbuh Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu Kabupaten Sumenep itu.
Termasuk pula, lanjut Zamrud, sistem saat ini diciderai oleh kabar dugaan kecurangan yang cukup masif, para penyelenggara tidak boleh menutup mata akan hal itu, termasuk Bawaslu harus menunjukkan peran optimalnya, pasca 17 April 2019 lalu.
“Ada lembaga Bawaslu sampai jajaran tingkat desa, kita bisa bayangkan Bawaslu sudah menjadi lembaga yang diperkuat oleh negara, berbeda dengan masa saya dulu saat masih bernama Panwaslu. Kekuatan ini diperkuat oleh UU nomor 7 tahun 2017, oleh karenanya Bawaslu dan jajarannya harus memaparkan sebelum dan pasca soal kasus pelanggaran pemilu yang mereka tangani, yang dilanjutkan maupun dihentikan,” tegasnya.
Pria yang juga menjabat Ketua Harian Indonesia Vote’s For Electoral Integrity Jawa Timur ini pun menyentil besarnya beban anggaran negara yang digelontorkan untuk dua lembaga penyelenggara Pemilu yang lahir dari UU yang sama, dalam hal ini KPU dan Bawaslu.
“Anggaran KPU dan Bawaslu itu sangat fantastis loh, anggaran sedemikian spektakuler ini tidak diimbangi kinerja yang baik, maka lembaga Bawaslu juga patut dievaluasi. Apakah Bawaslu atau pun KPU-nya tingkat Kabupaten itu kembali bersifat sementara (ad hoc), atau tidak. Atau bisa juga sebaliknya, KPU tetap permamen, atau Bawaslunya ad hoc, atau dua duanya,” tandasnya.
Mantan ketua Panwaslu Sumenep ini pun menyampaikan belasungkawa atas gugurnya para petugas KPPS dan PPS di ujung timur pulau Madura, yang wafat pada Pemilihan Umum (Pemilu) setentak, 17 April 2019 lalu.
“Kita doakan, semoga para pahlawan demokrasi yang wafat dalam tugas, pengabdian dan jasanya diterima di sisi Allah SWT,” jelasnya, dikutip Jumat (17/5/2019) kemarin, ditemui di kantornya.
Menurut Zamrud, pihaknya ingin mengawali menyuarakan duka cita atas gugurnya para petugas di Sumenep, termasuk menggugah yang lain memanusiakan para pendekar Pemilu.
“Kita kirimkan karangan buka sebagai ungkapan bela sungkawa, saya ingin menjadi orang pertama menyampaikan kabar dulu dan mendoakan mereka, sebelum dan sesudah rekap tingkat Kabupaten, karena tanpa mereka pendekar demokrasi ini, demokrasi tak akan pernah duduk,” pungkasnya. (Jie/Dewi/Rd)
Comment