Titip Menitip dalam Dunia Politik

Oleh: Ongki Arista UA

(Kamus Realitas)
Dulu, saat saya masih kecil, kata ‘menitip’–matoro’ dalam bahasa madura–akrab sekali di telinga. Menitip arti pendeknya meminta seseorang melakukan sesuatu untuk dirinya.

Lumrahnya, menitip itu artinya meminta seseorang yang bepergian ke pasar atau ke suatu tempat untuk membelikan dirinya (penitip) sesuatu.

Titip-menitip dilakukan oleh orang-orang yang tak punya waktu dan tak punya kuasa secara langsung untuk mengabulkan keinginannya sendiri dengan cara meminta orang lain yang punya waktu dan punya kuasa secara langsung untuk melakukannya.

Menitip, pendeknya adalah meminta bantuan pada orang yang lebih mampu. Menitip bisa juga tanda lemah. Karena jika ia mampu melakukan, maka tak perlu untuk menitip.

Transaksi titip-menitip lumrahnya dipraktekkan oleh dua pihak atau lebih yang sudah memiliki hubungan dekat, bahkan dekat sekali. Misalnya, hubungan teman, kerabat, keluarga, anak dan orang tua, kolega, pokoknya dekat, sepupu dan seterusnya. Hubungan dekat adalah pra-syarat dalam aksi titip-menitip.

Mengapa harus pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat titip-menitip ini dilakukan dengan lumrah? Sebab, titip-menitip membutuhkan modal kepercayaan.

Besar kemungkinan, jika kita menitip sesuatu pada orang yang tidak dikenal atau tidak memiliki hubungan dekat, barang titipan tersebut tidak utuh, berkurang, hilang, hancur, ditilep dan lebih parahnya lagi tidak sampai pada tujuan dan tidak sesuai harapan.

Menitip ini adalah ciri pokok hubungan sosial. Antar sesama, untuk disebut makhluk sosial, minimal harus pernah melakukan aksi titip-menitip ini. Tapi tak jarang, titip-menitip dilakukan untuk mencapai kesepakatan tertentu antara si penitip dan si penerima titipan.

Selain titip-menitip ini menjadi tanda dekat dan akrabnya suatu hubungan, juga menjadi tanda terselubungnya sebuah kepentingan di masa-masa yang akan datang.

Biasanya, muatan kepentingan dalam aksi titip-menitip dilakukan oleh kaum politikus untuk mencapai kekuasaan, tentu dengan mahar. Misal, saya titip calon A di sana, nati kalau jadi, kamu naik pangkat jadi kepala dinas. Sekali lagi, itu hanya misalnya.

Dunia politik dengan dunia tetangga sangatlah berbeda. Jika saya meminta tetangga saya membelikan ikan di pasar (menitip), yang pasti, tetangga saya tidak akan meminta mahar atau imbalan apapun.

Tetapi, jika itu terjadi dalam dunia politik, biasanya, maharnya mahal sekali. Itu artinya, titip-menitip dalam dunia politik itu maharhnya rupiah atau benda-benda mewah.

Titip-menitip dalam dunia politis selalu penuh dengan balas-membalas, baik dengan cara saling-menitip berulang-ulang atau membalasnya dengan jabatan dan uang.

Biasanya–jika dalam dunia kekuasaan politik–yang mengabulkan titipan akan kaya mendadak dan disukai oleh pihak-pihak penitip secara mendadak pula.

Dengan begitu, titip-menitip pada dasarnya untuk mencapai kekayaan, membangun hubungan dekat dan kekerabatan atau bisa juga untuk membangun kerajaan teman dekat dan kerabat. Ini tidak boleh terjadi dalam dunia politik kita yang menganut paham “Demokrasi”. Jika ini terjadi, maka siap-siaplah “Demokrasi” ini hancur.

Titip menitip bisa juga sebagai tanda balas jasa. Seseorang rela menerima titipan apabila seseorang yang memberinya titipan adalah ia yang pernah memberikan bantuan pada dirinya.

Saya pernah membantu si A memperbaiki motornya yang mogok. Saat si A diminta saya untuk melalukan sesuatu, lumrahnya si A pasti mau. Jadi, titip-menitip bisa jadi tanda balas jasa.

Selain itu, titip-menitip adalah bentuk sogok-menyogok yang paling samar. Betul, titip-menitip kadang tidak menggunakan uang, tapi ketika titip-menitip harus dengan modal “hubungan-dekat” maka sama saja, titip-menitip sebagai bentuk lain–yang sangat samar–dari sogok-menyogok atau suap-menyuap, hanya saja bukan pakai uang, tapi pakai “hubungan dekat”. Dengan ini, titip-menitip ini minimal telah dapat disebut nepotisme yang kadarnya paling sedikit.

Oleh karena itu, setiap kita yang melakukan aksi titip-menitip karena punya “hubungan dekat” bukan karena ikhlas dan tulus membantu, maka cukup pantas disebut sebagai pendukung nepotisme. Seberapa nepotisme-kah kita hari ini?

Dengan ini pula, sebagai penutup tulisan ini, maka kesimpulan yang perlu kita garis bawahi ialah titip-menitip selalu terjadi karena hubungan dekat dan kepercayaan yang kuat. Tanpa keduanya, titip menitip tidak akan berlangsung, kecuali dengan mahar jabatan, uang dan benda-benda mewah lainnya.

Titip-menitip dalam dunia politik dan segala ihwal yang berkaitan dengannya tidak boleh terjadi begitu saja. Negara ini bukan titipan siapa-siapa dan bukan dari siapa-siapa. Negara ini adalah milik bersama, bukan milik teman bersama, keluarga bersama, kerabat bersama. Karena itu, mari kita jaga orisinalitas, kualitas dan profesionalitas perpolitikan kita dengan memakai etika titip-menitip sebagaimana yang dilakukan antar tetangga di kampung, yang baik, tulus, terbuka, jujur dan se adil-adilnya.

Titip-menitip “nama” dalam dunia perpolitikan, pendidikan, organisasi, rekrutmen di segala sektor lembaga milik negara atau swasta benarlah sudah lumrah, sudah menjadi rahasia umum, tapi apakah semua itu harus semakin dilumrahkan dari waktu ke waktu jika yang dititipkan justru orang bodoh yang sama sekali tak akan mampu mengenban tugasnya?.

Lalu, apa guna kita belajar dari sejak SD hingga Sarjana jika setiap keteledoran, kesalahan, kepicikan, kemunafikan, kebohongan, keberpihakan dan keburukan selalu dipaksa untuk dijadikan rahasia umum, dilumrahkan tiada henti dan tidak diperbaiki? Lalu untuk apa bekal pendidikan kita? Untuk apa dan untuk apa?.

Comment