Ongki Arista U.A
(Kamus Realitas)
Kata “palsu” atau “Ke-palsu-an” telah lama booming sebelum Bang Roma merilis lagunya yang terkenal seantero jagad Indonesia, Tabir Kepalsuan.
Di pasar-pasar, dari pasarnya kelas tani hingga kelas konglomerat, istilah “palsu” sering dinegasikan karena membawa pesan negatif.
Sering dijauhi karena mudah rusak. Sering dikecam karena sering membahayakan. Pokoknya, palsu dan kepalsuan itu selalu tidak enak didengar, apalagi dipakai. Ingat, pokoknya begitu.
Lawan kata palsu adalah asli. Oleh karenanya, yang asli justru yang lebih berharga, bahkan beribu kilometer jauh lebih berharga daripada yang palsu. Semakin enggan ke yang palsu, maka semakin suka ke yang asli.
Semakin anda benci ke barat, maka anda akan otomatis ke timur. Kira-kira begitu ilustrasi gerak kita pada yang “asli” dan “palsu”.
Oke, deal. Kita sepakat bahwa kepalsuan selalu kita jauhi seiring kita menyukai yang asli.
Sekarang kenapa kita suka banget menyebut kata “asli”? Kenapa tidak sebaliknya?.
Asli itu suatu kata yang menunjuk keadaan alami pada sesuatu atau asalnya sesuatu, tanpa pengurangan, penukaran, penggandaan, jiplakan atau penambahan sama sekali. Asli itu ya adanya, sebagaimana adanya dan sebagaimana asalnya. Cukup begitu.
Nah, sekarang beralih ke contoh. Anda pinjam sepeda merk “S*ra” dan anda mengembalikan sepeda berbeda dari asalnya, sebut saja merk “g*nd”. Berarti, anda sudah bertindak memalsukan.
Anda pinjam sepeda motor dan mengembalikannya menjadi mobil, tetap saja disebut tindakan menipu. Tapi, aksi memalsukan seperti yang terakhir banyak yang suka. Cap jempol bagi yang memalksukan, hebat, motor jadi mobil.
Contoh lain; meniru tanda tangan atasan, mengcopy-paste kalimat orang, mengubah angka pada rencana anggaran, membajak merk dan model barang, memperburuk tampilan, mempercantik tampilan, merubah arah pikiran dari asal kesepakatannya, menyukai kebohongan, melepas kejujuran, mengedit foto wajah berlebihan; hilang aslinya dan tampak palsunya.
Semuanya itu, jika dihitung-hitung termasuk tindakan kepalsuan. Apa yang tidak sesuai dengan adanya dan asalnya maka ia adalah palsu–atau bisa saja disebut panafsiran dalam arti palsu yang paling minim.
Kalau yang palsu itu sepatu, biasanya mudah jebol. Kalau sandal jepit, mudah putus. Kalau buku, mudah sobek. Kalau baju, mudah bolong. Kalau sarung, mudah luntur warnanya. Kalau motor, suka mogok.
Kalau tulisan, mudah bodoh. Kalau pacar, mudah selingkuh. Kalau uang yang dipalsukan, biasanya yang ngedar cepat kaya. Kalau dokumen negara dipalsukan, si pemalsu mudah saja bertindak curang. Kalau tanda tangan pembimbing skripsi dipalsukan, bisa cepat ACC. Yang palsu biasanya terkesan suka-suka, cepat-cepat, murah-murah dan mudah-mudah. Kalau yang palsu itu muka? Diedit misalnya, Kira-kira mudah apa?
Karena itu semua, yang asli selalu lebih diincar meski sulit, dicari meski sukar, ditunggu meski lama dan dibeli meski mahal. Tapi tak jarang, ada yang suka murah dan tentu bukan asli.
Tapi tak apa-apa lah, itu hak individu. Tapi jangan sampai suka membeli janji palsu, cinta palsu di rel-rel kreta atau jalan-jalan kota, agama palsu, negara palsu dan kejujuran palsu. Cukup sepatu sajalah yang anda beli dalam keadaan palsu. Yang lain jangan sampai.
Untuk yang keduakalinya kita sepakat, deal, yang palsu selalu tidak menarik.
Tapi mengapa pada beberapa kasus, kita justru suka hidup dan mempraktekkan hal-hal palsu? Terutama di media sosial? Bukankah kita sepakat untuk menjauh dari hal-hal penuh kepalsuan? Mengedit foto berlebihan, mengubah bentuk alis berlebihan, make up wajah berlebihan, pakai baju berlebihan dan makan mewah berlebihan.
Bukankah semua itu benarlah berlebihan dan akhirnya palsu?
Anda keluarga tak mampu sok makan di kafe. Anda anak kampung, sok ke-kota-an? Anda tak punya mobil, sok foto di depan mobil. Kadang, kepalsuan juga sesak dengan kesan “sok”. Itulah kepalsuan, “sok” dan “sok”.
Sering kita menjauhi kepalsuan semacam di atas, tapi lebih sering, kita sendiri melakukan kepalsuan. Menjauh dari yang palsu dan memproduksi kepalsuan sendiri. Percuma. Kadang, kita berlomba-lomba untuk unjuk kepalsuan semacam di atas dengan biaya yang tidak murah. Misal, sok kuat beli rokok mahal padahal uangnya pas-pasan. Sok gagah neraktir. Sok kuat ngangkat kulkas sendirian, dll. Sudahlah, berbuatlah apa aslinya. Boleh memoles dan sedikit “sok”, tapi jangan berlebihan.
Sedikit ceramah pendek; kita/anda dilahirkan dengan keadaan “asli”, maksud saya tidak “palsu”. Saya bukan anda, atau yang lainnya. Begitupun anda. Anda bukan saya dan yang lainnya. Anda adalah asli. Ada dan asalnya tetaplah anda. Dari itu, kita/anda semua dilahirkan dengan keaslian kita/anda masing-masing. Termasuk wajah yang kita/anda miliki adalah salah satu keaslian yang kita/anda miliki.
Jangan palsukan apapun diri dengan membentuk tindakan-tindakan palsu. Misal dengan ikutan bangga dengan praktek make up dan editing foto yang menghilangkan keaslian kita sebagaimana adanya. Syukuri aslinya.
Tuhan telah merencanakan sesuatu yang lebih baik dengan keaslian yang kita miliki, jika kita mengejanya penuh rasa syukur. Jika tidak?
Hidup di tengah aneka ragam dan perbedaan kepalsuan yang dilakukan banyak orang memaksa kita bertindak palsu sebagaimana mereka. Kita dipaksa untuk ikut serta mensukseskan kampanye palsu itu. Pura-pura kaya. Pura-pura alim. Pura-pura sopan. Pura-pura baik. Pura-pura megang mikrofon di depan acara penting. Pura-pura membela. Pura-pura adil. Iya, kepalsuan juga sering dibumbui kepura-puraan.
Di tengah kepalsuan itu, kini kejujuran menjadi mahal harganya dan orisinalitas/keaslian diri menjadi mewah nilainya.
Dari saking mahalnya kejujuran, tak ada yang hendak membelinya dan dari saking mewahnya keaslian diri, tak ada orang yang berani menggapainya.
Kita akan bertemu dengan banyak orang yang setiap hari memalsukan dirinya, berlomba-lomba menghapus keaslian dirinya, mengejar sesuatu yang palsu dan berlebihan, bertindak pura-pura sesukanya. Hanya itu yang murah dan paling murah, dapat dibeli berkali-kali, bahkan tiap detik.
Kapan kita bersyukur dengan keaslian yang Tuhan limpahkan? Kapan, kapan dan kapan?
Comment