Oleh: Moh. Faridi, M.Pd
Setelah hujan beberapa hari ini, ternyata diskusi perihal Kota Cinema Mall (KCM) mulai lentur. Padahal sebelumnya, semua kalangan: aktifis sosial, akademisi, politisi, dan pegiat media sosial membuka ruang-ruang diskursus tentang tema KCM.
Sub-sub tema yang diangkat melahirkan keunikan-keunikan tersendiri dan memberikan sumbangan teoritis bagi keilmuan untuk kemajukan Pamekasan. Semisal, pertama, dikursus KCM persepektif kajian sejarah penolakan-penolakan para ulama menyikapi pembangunan di Madura.
Dari diskursus tersebut, membeberkan perjalanan panjang penolakan para ulama salaf terhadap berdirinya jembatan Suramadu dan Badan Pengawas Wilayah Suramadu (BPWS).
Penolakan tersebut tentu bukan menggunakan alasan kemaksiatan dengan diksi “bakar”, “budu’en patek”, dll. Alasan penolakan Suramadu lebih kepada ketakutan pada kaum kapital menciptakan industrialisasi di Madura yang efeknya akan mencabut akar budaya Madura.
Setelah puluhan tahun jembatan Suramadu diresmikan, jangankan industrialisasi, memajukan UMKM saja, sulitnya minta ampun. Anehnya, para ulama penolak jembatan Suramadu justru sering mengambil manfaat dari adanya Suramadu. Wajar jika akhirnya muncul persepsi, jangan-jangan penolakan sebagai sebuah cara mendapatkan eksistensi dan kenikmatan belaka?.
Kedua, sub tema kajian penolakan KCM perspektif organisasi. Kajian ini lebih kritis melihat keberadaan organisasi FPI di Pamekasan. Dari kajian ini terlihat secara nyata, bagaimana organisasi ini membangun eksistensinya hanya melalui fatwa penolakan-penolakan terhadap hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak mereka.
Hampir tidak ada kontribusi apapun yang mereka berikan untuk kemajuan Pamekasan, kecuali hanya menolak pembangunan dan segala kegiatan menggunakan ayat Alqur’an sebagai pembenar.
Ade Armando menyebutkan bahwa paham salaf dan konservatif menggunakan tafsir ayat-ayat perang dalam Al-qur’an untuk membangun emosi massa dan keyakinan personal. Sehingga fakta-fakta empiris tidak berpengaruh terhadap persepsi masyarakat.
Pendapat ini senada dengan pendapat Prof. Sumanto Alqurtubi bahwa Islam aliran keras sering mengklaim tindakannya sebagai “ajaran islam”. Padahal realitas sebetulnya adalah “wacana keislaman” yang diproduksi oleh sejumlah pemikir-aktivis Muslim dan ulama favorit mereka. Termasuk kehadiran KCM di Pamekasan yang menjadi kebutuhan masyarakat, akhirnya dipaksa berbenturan dengan nilai-nilai Islam sesuai kepentingan aliran mereka.
Meski terjadi penolakan dalam bentuk demontrasi dengan alasan kemaksiatan, kehadiran KCM ternyata tidak hanya berdampak negatif. Buktinya, selain dampak ekonomi melalui terbukanya lapangan pekerjaan, ia juga telah berkontribusi terhadap pencerdasan masyarakat Pamekasan, khususnya masyarakat yang terlibat aktif dalam diskursus pro dan kontra atas keberadaan KCM.
* * *
Benturan pemikiran antara kelompok Islam konservatif dengan pemerintah daerah dalam menafsir sebuah realitas, seharusnya melahirkan konsensus bersama demi kemajuan masyarakat. Bukan menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Pamekasan. Konsensus tersebut tentu harus memuat keuntungan bersama sehingga tidak terjadi saling menciderai hasil kesepakatan-kesepakatan yg sudah dirancang dalam bentuk perundangan-undangan.
Sebagai bagian dari Indonesia, tunduk terhadap hierarki hukum perundang-undangan yang ada, menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat Indonesia. Kecuali sudah tidak mengakui sebagai warga negara Indonesia.
Manifesto ulama berupa Gerakan Pembangunan Syari’at Islam (Gerbang Salam) yang menjadi dasar penolakan dan mempersoalkan hal-hal yang sudah sesuai dengan perundang-undangan yang ada, seperti yang dilakukan oleh FPI dan LPI, perlu dikaji ulang.
Gerakan atas nama apapun, seharusnya tidak membentur produk hukum di atasnya. Semisal, kehadiran KCM, konser-konser hiburan, dll. yang sudah sesuai dengan produk-produk hukum yang sah. Sebab, jika hal demikian terjadi, niscaya akan terjadi negara dalam negara.
Hal ini akan menciptakan ketakutan-ketakutan bagi para investor dan pelaku-pelaku usaha di Pamekasan. kondisi ini jelas jauh berbeda dengan cita-cita lahirnya Gerbang Salam yang kita bangga-banggakan, & akan menjadi awal dari kesengsaraan masyarakat Pamekasan.
Mengutip tulisan Esa Arif (2018) dalam jejak sejarah Gerbang Salam, seharusnya Gerakan Pembangunan Syari’at Islam (Gerbang Salam) menjadi moral force, bukan sebuah gerakan yuridis yang berdampak pidana, apalagi menghambat laju pembangunan Pamekasan dengan membentur aturan-aturan yang ada di atasnya.
Jika sudah terjadi penggeseran nilai murni karena Gerbang Salam, dari gerakan moral force ke gerakan politik, maka satu-satunya lembaga yang harus meluruskan adalah Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syari’at Islam (LP2SI). Ia merupakan lembaga yang dideklarasikan oleh ulama-ulama zaman tahun 2002 silam, sudah sepantasnya LP2SI melakukan langkah-langkah strategis dan taktis demi kembalinya pada riil yang sesuai dengan keinginan ulama terdahulu.
jika LP2SI diam terus, sementara disisi lain orgnisasi islam semakin menjamur menafsir Gerbang Salam sesuai kehendak politiknya masing-masing, meski menabrak hierarki hukum negara tidak peduli. lantas buat apa kesepakatan para ulama melahirkan lembaga yang di anggap kapabel model LP2SI ini..??.
Pertanyaan berikutnya, kemana LP2SI di saat sekoci-sekoci ideologi transnasional memporak-porandakan heirarki hukum negara republik Indonesia?.
*penulis adalah peneliti yayasan madura institute.
Comment