Agama, Politik, dan Demokrasi

Foto: Farid S.FIL.I., M.Sc, Panwaslu Kecamatan Ganding.

Islam memiliki sejarah Panjang dan mengagumkan dalam meramu peradaban nusantara jauh sebelum Indonesia lahir secara formal.

Pernak Pernik peninggalan sejarah islam nyaris mendominasi gelayut sosial budaya hingga era Indonesia merdeka. Islam telah menjadi nafas sekian banyak variabel kehidupan dari skala makro hingga mikro. Termasuk lahir dan tumbuhnya negara Indonesia jelas tidak bisa dipisahkan dari peran sentral agama ini.

Paska kemerdekaan, islam tampil sebagai komunitas inklusif yang berani pasang ide soal penyatuan agama dan negara di tengah digdayanya ide-ide sekularisme. Tentu ide-ide ini tidak lahir di ruang hampa. Embrio ide besar itu jelas merupakan anak kandung dari dinamika sosial dan ajaran islam yang telah mengalami penempaan dalam kurun waktu tidak sebentar.

Munculnya nama sekaliber Wachid Hasyim, M. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo ke permukaan politik praktis republik menjadi penanda betapa islam mampu mengakomodir kepentingan agama dan negara dalam satu bingkai perjuangan.

Islam menjelma sebagai kekuatan ide dan Gerakan yang begitu mengagumkan. Ia mampu menyelaraskan Langkah antara kehendak wahyu dengan tuntutan sosial. Keselarasan itu termanifestasi dalam nafas perjuangan dan sikap humanis para pejuangnya.

Barangkali kita sudah akrab dengan cerita M. Natsir (Ketua Masyumi) dan D.N. Aidit (Ketua PKI). Kedua tokoh ini terbiasa bertarung gagasan dan berdebat sengit di meja parlemen tapi mereka tetap hangat di tempat ngopi. Bahkan, usai keduanya berdebat sengit, Natsir tidak canggung mengambilkan Aidit secangkir kopi. Sebuah potret sikap kenegarawanan yang sangat mengagumkan.

Potret Islam dan Politik Terkini

Usai pemilihan Umum 2019, isu intoleransi dan gejolak sosial yang diwarnai sentiment agama kian merebak. Kenyataan itu hilir mudik di beranda media sosial nyaris tanpa reda. Kondisi ini jelas mengkhawatirkan.

Pondasi kerukunan yang telah diteladankan oleh para pendiri bangsa di atas kian tergerus nyaris tanpa bekas. Bangsa yang dulu menjadi teladan perjuangan dan kenegarawanan di Kawasan Asia-Afrika kini mulai memahat jalan menuju kubangan konflik horizontal atas nama agama. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia. Indonesia menjadi eksemplar praktik beragama Bagi bangsa lain.

Dalam konteks Indonesia modern, Abu Rabi’ (1998: 2) mengakui Islam telah menjadi kekuatan nilai dalam menumbuhkan etos pluralisme keagamaan sejak Indonesia merdeka. Namun, potensi untuk menjadi gerakan sosial yang mundur ke belakang dengan sentimen antiagama lain tetap terbuka.

Munculnya kecenderungan dan pola pemikiran keislaman yang berbeda-beda beberapa tahun terakhir menjadi gambaran betapa kesepahaman dalam memandang kelompok lain turut mencipta gaduh sosial dengan bumbu keagamaan.

Aspirasi politik keagamaan yang berkembang ini membuka peluang bagi tumbuhnya Gerakan sosial islam yang kurang menjunjung tinggi toleransi, keterbukaan, dan demokrasi. Semua ini menjadi tantangan yang semakin nyata seiring perkembangan wacana keislaman pascamoderen.

Untuk mengantisipasi dan menanggulangi problematika kehidupan beragama dan demokrasi di Indonesia, seperti konflik, intoleransi, ekstremisme, dan terorisme, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perlunya reorientasi pemahaman ajaran agama. Kedua, depolitisasi agama. Ketiga, perlunya keberpihakan negara secara lebih serius.

Doktrinasi keagamaan perlu direformulasi dalam proses penyampaian dan keteladanan para tokohnya. Pemahaman keislaman perlu disampaikan sebagai bentuk kebenaran agar bisa berdampingan dengan kebenaran yang lain.

Perlu adanya penekanan tentang pentingnya menghormati kebenaran yang diyakini orang lain meski berseberangan dengan kebenaran yang kita Yakini. Pemahaman agama yang didoktrinkan sebagai kebenaran tunggal justeru berpontensi menimbulkan jurang pemisah antar pemeluk agama dan antar sesama umat islam.

Lebih lanjut, para pendakwah diharapkan mampu memberikan keteladanan humanis dalam menyikapi perbedaan kecenderungan pola pikir. Kecenderungan pemikiran agama yang bersumber dari hasil ijtihad dan memiliki titik perbedaan dengan komunitas agama atau kelompok lain hendaknya disampaikan dengan penuh cinta dan argumentasi yang menyejukkan.

Sangat mengkhawatirkan apabila para da’i juteru merebus kata provokatif atau bahkan ujaran kebencian dalam menyampaikan dakwah islam yang katanya rahmatan lil alamin. Apabila akar rumput mengalami gejolak yang mengarah pada perpecahan, harusnya para pendakwah tampil sebagai penyejuk dan mata air keteladanan dalam bersikap dan menyampaikan pendapat.

Islam tidak bisa hanya dipahami sebagai identitas yang wajib dipertahankan meski dengan cara-cara di luar kemanusiaan. Islam seharusnya dijadikan nafas dan ruh perjuangan. Sebagaimana Nurcholis Madjid menekankan agar umat islam beragama secara menggaram. Tidak perlu gila dengan simbol-simbol agama tapi terasa dalam manifestasi kehidupan sehari-hari.

Depolitisasi Agama Dalam Pemilu

Pemilihan Umum (Pemilu) lima tahunan akrab dikenal dengan istilah pesta demokrasi. Bangsa ini sepakat bahwa demokrasi adalah jalan terbaik versi bangsa Indonesia dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Agenda ini menjadi titik nadi perjuangan bagi seluruh rakyat Indonesia yang hendak menjadi wakil atau memilih wakilnya di kursi kekuasaan.

Jamaknya kekuasaan, secara manusiawi mayoritas orang memilik ambisi menuju kuasa. Oleh karena kontestasi menuju kuasa membawa beberapa variabel kedirian, maka meraih kekuasaan menjadi sesuatu yang wajib diperjuangkan bagaimanapun caranya. Sebagaimana umumnya manusia berjuang di jalur politik, maka intrik, kasak-kusuk, saling tikung, dan beberapa strategi dengan konotasi kurang menyenangkan lainnya menjadi hidangan dasar dalam kerja politik.

Dalam politik praktis di Indonesia, agama masih menjadi komoditas politik yang menggiurkan untuk jadi kudapan pembuka meja kontestasi. Agama tidak membutuhkan bumbu tambahan untuk digoreng lalu dihidangkan di etalase kampanye demi menarik simpati publik secara primordial.

Kenyataan inilah yang melintas dalam realitas politik kita beberapa tahun terakhir. Bahkan Totok Hariyanto, anggota Bawaslu RI menegaskan bahwa politik identitas masih merupakan amunisi menjanjikan untuk dijadikan daya gempur politik termasuk di pemilu 2024 mendatang.

Berkaca pada dinamika politik identitas yang lalu, luka bekas politik identitas nyaris tidak bisa disembuhkan. Luka itu akan terus menetap meski kadang hanya berganti baju dan figur yang dipanggungkan. Konflik lama akan dibakar ulang di setiap momen kontestasi politik.

Dalam masalah konflik yang mengusung isu keagamaan ini, tindakan preventif perlu lebih dikedepankan. Mengobati konflik yang berwajah agama sangat sulit dilakukan karena konflik ini menimbulkan luka mendalam di masyarakat yang terlanda konflik.

Tindakan preventif yang perlu dilakukan adalah mengantisipasi gerakan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan menyiapkan regulasi dan perundang-undangan serta penjagaan ketat oleh keamanan negara bagi siapa pun yang hendak mengubah bentuk NKRI ke bentuk yang lain (termasuk NII).

Maka dalam konteks ini, kehadiran pemerintah menjadi penentu kemana arah dinamika ini akan dikelola. Dalam hal pemilihan umum dengan negara sebagai panglima tertinggi, maka negara hendaknya melakukan Langkah preventif Bersama dengan perangkat strukturalnya. Di samping penegakan hukum dalam upaya menciptakan kehidupan yang toleran, harmoni, dan guyup antar umat beragama, negara perlu melakukan upaya pencerdasan politik menuju masyarakat politik rasional.

Sebagaimana diketahui, dalam rangka merealisasikan hajatan demokrasi lima tahunan, secara struktur negara memiliki penyelenggara pemilu yang bertanggungjawab memastikan pelaksanaan pemilu sesuai dengan perintah Undang-undang. Dalam melaksanakan agenda tahapan pemilu, personel penyelenggara harusnya dibekali dengan kecakapan Pendidikan politik.

Penyelenggara tingkat kecamatan dan kelurahan harus terlibat aktif dalam upaya pencerdasan masyarakat akar rumput. Hingga pada gilirannya isu agama, ras, suku, dan antar golongan tidak lagi mengemuka sebagai “jualan” kandidat dalam pemilu. Hingga pada gilirannya, kandidat tidak lagi menggunakan isu agama saat kampanye bukan karena tidak bisa. Tetapi karena “jualan” agama sudah tidak laku di tengah masyarakat politik cerdas dan tercerahkan. ***

Comment