Problematika Momentum “Dari Pinggir”

Oleh: Ongki Arista U.A

Dari pinggir, lantas menuju kemanakah?

Ibarat suatu perjalanan, kata “Dari” bukanlah kata mistis, tetapi menunjuk suatu peng-awal-an, permulaan dan keberangkatan yang jelas, dari dan kemanakah?.

Jika “Dari pinggir” adalah suatu frase aktif atau semacam kendaraan, maka di dalamnya tentu terdapat kerangka kerja atau seorang supir, kondektur dan penumpang yang sedang menuju suatu tempat tertentu. Setelah pertanyaan pertama, muncul pertanyaan kedua, siapa supir, kondektur dan penumpang kendaraan “Dari pinggir”?

Sebelum menjawab semua pertanyaan itu, saya ingin menyulap pertanyaan penting itu menjadi tak penting sama sekali, tapi bagaimana mungkin, saya sendiri bukan seorang pesulap, tepatnya seorang anak muda yang sedikit getol membuka celah-celah kecil suatu wacana.

Lalu penasaran pada wacana itu dengan sedikit bekal hanya mampu melafalkan istilah-istilah kiri seperti kata Marxisme, Sosialisme dan Marhaenisme.

Untung saja bangsa kita memberlakukan kenderaan untuk selalu berhenti di bibir jalan sebelah kiri. Maka istilah kiri tidak begitu menakutkan, apalagi bagi seorang pria yang telah ditunggu gadis pujaan di halte depan.

Maka si pria ini tentu menepuk pundak kondektur dengan girang sambil berkata “Kiri, bang!”. Ini bukan celoteh jalanan, mari lupakan sejenak.

Frase “Dari pinggir” mungkin cukup apabila diidentikan dengan istilah Margin yang digelontorkan Derrida, yang bagi seorang pembuat makalah ulung, margin itu dibayangkan secepat kilat sebagai garis tepi, 4433 lalu terbayang kertas A4 dan huruf Times New Rowman dan spasi 1,5. Tetapi beda lagi dengan apa yang berada dalam benak saya.

Saya membayangkan, “Dari pinggir” adalah struktur gerak dari sebuah garis yang berada pada dan membentuk lingkaran-selain digunakan untuk menyebut masyarakat kelas bawah.

Kekuatan masyarakat kelas bawah atau pinggiran adalah lingkaran itu sendiri atau banyaknya kaum pinggiran yang tanpa akreditasi oleh team akreditor telah berlabel proletar dan seraya membentuk garis lingkar.

Jika kita amati, kekuatan lingkaran berada di tepi-untuk disebut garis lingkaran, harus ada struktur garis yang membentuk melingkar-atau pinggiran itu sendiri, karena garis sebuah lingkaran tidak pernah memusat seperti titik.

Ia membentuk garis lingkar. Di situlah-tepat di garis lingkar-pinggiran memulai sumbu-sumbu eksistensinya.

Seruan “Dari pinggir” adalah serangan melingkar, dari segala penjuru pinggiran dan berbasis kultural.

Tentu, serangan yang diupayakan adalah menguatkan naturalitas sifat dan sikap masyarakat sebagai pelaku sosial yang tidak monopolistik tetapi bergotong-royong melangsungkan pola-pola perekonomian, pendidikan dan keagamaan sesuai dan se-proporsional mungkin dengan budaya yang dianut atau sebagaimana yang disebut oleh peredaksi “Dari pinggir”, Roychan F, sebagai usaha “meletakkan kembali” suatu dasar pengetahuan pada kosmologi masyarakat yang penuh dengan gerakan murni, spirit belajar, idealisme dan motivasi ideologis sebagai pijakan awal tempat dulu masyarakat dilahirkan.

Saya mulai meragukan-keraguan yang mirip dengan seorang pria miskin yang mengharap cintanya diterima oleh gadis kaya raya-keberangkatan ideologi “Dari pinggir” ini setelah peredaksi masyarakat pinggiran, justru menginisiasikan kembalinya [baca; meletakkan kembali] masyarakat pada awal tempat dulu dilahirkan dan menyebutnya sebagai pembaharuan dialektika serta negasi atas penghambaan masyarakat-PMII khususnya-pada titah politisi.

Kita tidak cukup membawa anekdot film FTV [Majikan tergila-gila pada pembentu dekil], negasi dan seperangkatnya–yang semuanya berupa fantasi kritik belaka–untuk melangsungkan perlawanan dari pinggir.

Musuh masyarakat pinggiran semakin canggih, kita tidak mungkin membalasnya dengan bambu runcing atau tali jebakan sebagaimana perlawanan yang dilakukan kaum “ndeso” pada masa penjajahan belanda, terlalu naif. Ibarat membalas WA Samsung A7 2017 dengan Hp jadul Nokia 1202, tidak mungkin.

Siapa yang dituntut menjadi masyarakat pinggiran? Atau siapa pelaku pinggiran ini? Bukankah para warga di desa-desa telah menampakkan wajah pinggirannya sejak Iwan fals belum jadi musisi dan Socrates belum jadi filsuf?.

Mengapa dari pinggir harus diberangkatkan menuju ke pinggir lagi? Mengapa ada wacana pinggiran dalam tubuh yang memang terpinggirkan? Bukankah pinggiran adalah realitas faktual yang melekat pada diri setiap manusia yang terbatas, seperti saya dan melawan keterbatasan itu dengan kritik?.

Tidakkah berlebihan menyebut nama diri sendiri di hadapan orang yang mengenal kita dengan sangat dekat dan baik? Tentu, saya menilai “Dari pinggir” bukan suatu keberangkatan, tapi justru sebuah pergeseran inch demi inch, menuju masa lampau dan ini cukup memakan waktu lama, belum lagi waktu untuk mendaki masa depan yang tentu lebih panjang.

Kita tak pernah ingat, bahan bakar sebuah kendaraan kapan saja bisa habis saat dipaksa menempuh jarak jauh dan terjal yang tiada henti.

Bahkan lebih parah dari itu, kendaraan kita akan mogok permanen karena terus menerus dipaksa “Dari pinggir”, dan yang lebih menjijikkan lagi ialah ketika idealisme pinggiran justru tergadaikan di tengah ketidaksiapan kita sendiri menyiapkan bahan bakar atau saat kita berada dalam keadaan susah selama ini kemudian kita memilih nebeng mobil dinas bupati yang kebetulan lewat di depan mata kita.

Berat tugas aktivis pinggiran ini. Selain mereka terbatas secara finansial, mereka juga lengah mencipta perlawanan yang progresif, selain dengan fantasi kritis.

Masyarakat pinggiran selalu hidup dengan keterbatasan. Lebih-lebih mereka terbatas untuk bermain di pusat lingkaran; kantor-kantor, pabrik-pabrik, forum-forum dimana area vital ini sering menjadi tempat praktik menindas secara halus dan transaksi korup yang dilakukan oleh para mafia.

Mereka terbatas karena memang membatasi dirinya untuk terjun pada paradigma elit masyarakat kelas atas. Kata Gus Ulil, kita tidak usah takut menjadi elit demi restrukturasi kelas sosial.

Kita tidak dapat melawan kesewenang-wenangan para kapitalis, borjuis dan antek politisi bejat dengan membuat pagar kelas proletar dengan bumbu paradigma kritis. Kita harus mengakui, elisitas hanya dapat dilawan dengan elisitas lain yang lebih arif.

Kapitalis harus dilawan dengan kapitalis model lain yang lebih bijaksana. Politik harus dilawan dengan politik yang lebih etis. Dengan begitu, kita tidak hanya berteriak dari ladang dan sawah meneriakkan pejabat negara yang tinggal jauh, puluahan kilo-meter di pusat kota sana, di sebuah gedung lantai 10. Mula-mula, kita harus masuk ke gedung itu terlebih dahulu.

Upaya mengembalikan ideologi masyarakat kelas atas menuju ideologi pinggiran atau masyarakat kelas bawah ibarat fans [baca penonton] Barcelona yang berambisi menggantikan Neymar lalu bergandengan dengan Messi mencetak Gol cantik.

Bagaimanapun, mereka hanya penonton, yang ambisi dalam dirinya tak dapat dicapai melalui tangan dan kakinya sendiri. Maka, saat ambisi menuju ke titik ultima, maka hanya kecewa yang membuncah melihat Barcelona di bantai Madrid.

Apa yang dilakukan masyarakat pinggiran melihat tanah diboyong tanpa cancelled selain mengkritik secara teoritis? Apa yang dapat disumbangkan mahasiswa pinggiran pada ideologi PMII cabang sumenep yang telah terlanjur tercerabut idealismenya hingga akar terdalamnya, selain kritik dan fantasi kritik?
Dengan serba keterbatasan, masyarakat pinggiran hanya punya harap yang tiada pernah tertandingi.

Jalan satu-satunya untuk mewujudkan harapan “Dari pinggir” agar tak terus bergerak inch demi inch, maka pertama, bagi penulis sendiri, masyarakat “Dari pinggir” harus meretas keterbatasan-keterbatasan dan batas-batas ideologi yang dibuatnya sendiri, yang seakan terus diniscayakan oleh dan pada diri masyarakat pinggiran itu sendiri.

Penulis melihat, gagasan pinggiran bisa saja sebagai entitas terkecil dari sebuah pembatasan diri atau paling tidak menjadi penampakan tersamar dari keterbatasan. Seseorang kembali ke pinggir saat telah tak menemukan kebebasan diri yang utuh di titik pusat.

Terlihat, apakah menuju pinggir hanya ide alternatif? Di sini, kita harus benar-benar jujur dengan keinginan kita berada di pinggir. Berangkat dari pinggir untuk menduduki titik pusat, atau terus bergerak mengitari titik pusat mengikuti arah lingkaran tanpa tertarik sama sekali menuju titik pusat?.

Kritik dari pinggir-jika ia adalah strategi perlawanan yang dibungkus secara ideologis-sejatinya bagian dari upaya menuju ke titik pusat lingkaran dan meretas batas dan keterbatasan paradigma masyarakat pinggiran yang selema ini mengekangnya.

Tapi bagaimana mungkin paradigma pinggiran ini berjaya saat masyarakat yang berada di titik pusat terlanjur dialiri banjir bandang “pragmatisme” yang akut? Bahkan di desa sekalipun. Bagaimana cara menawarkan pentingnya pertanian pada kapitalis, selain kita sendiri, terlebih dahulu harus menjadi kapitalis yang lebih sosialis? Kritik tak cukup dengan terus menerus dipelihara, sedangkan kita sendiri tak pernah berpikir upaya pembuahannya?
Benar kata Soe Hok Gie, kritik kadang tak ada gunanya.

Banyak orang yang semakin membenci kita karena [kita] suka mengkritik dan akan banyak pula orang-orang yang semakin tidak mengerti kita dan beberapa point kritik yang kita lontarkan.

Jalan satu-satunya agar bebas dari bayang-bayang banyak orang adalah dengan cara menyendiri. Menurut Gie, seorang Intelektual menjadi bebas sebebas-bebasnya dalam mengkriritik saat ia hidup dalam kesepian, keterasingan dan kesendirian.

Tapi, bagaimana mungkin gerakan pinggiran dengan PD-nya berangkat sendirian di malam minggu menuju pusat kota dan berani menusuk jantung para mafia sedangkan dirinya sendiri tak selesai-selesai mengobati kesepian dirinya? Kesendirian, selain lahan bebas membuat kritik, juga menjadi lahan bebas berlaku korup.

Pertanyaan yang tidak pernah penting akan saya utamakan dan masih sama redaksinya, dari mana dan hendak kemana “Dari pinggir” ini diproyeksikan selain dihimpun menjadi antologi-kritik dan fantasi kritik?

Sumenep, 04 Oktober 2017

Comment