Komitmen itu ‘Mitos’

Oleh: Ongki Arista U.A

Seseorang bisa bermusyawarah dengan amat serius dalam kurun waktu yang tidak sebentar. Menghabiskan banyak biaya. Mengorbankan banyak hal demi (ikut serta) musyawarah.

Tapi, kadang tak ditemukan komitmen sedikitpun disana. Musyawarah dan banyak waktu yang dihabiskan (demi musyawarah) ternyata tak dapat melahirkan komitmen segampang itu.

Semalam atau dua, tiga, empat hingga lima malam bermusyawarah belum tentu dapat diaplikasikan hasilnya.

Setiap urusan publik yang dimusyawarahkan seringkali hilang ditelan urusan pribadi masing-masing–kadang kesepakatan sirna ditelan kepentingan pribadi masing-masing.

Anda mungkin–saya sering–menemukan seorang intelektual yang (sok) gagah, berbicara lantang, kritik lantang dan mengecam lantang sekali, tapi nyatanya dibelakang kelantangannya, ia tunduk patuh pada pacarnya.

Bahkan, ia memilih menemui pacarnya di malam minggu ketimbang menghadiri sebuah acara yang disepakatinya sendiri.

Ya, urusan sosial seringkali hilang–bahkan musnah–ditelan urusan dirinya sendiri, atau kita masing-masing. Kita lebih pandai mengalahkan pendapat orang lain di sebuh forum-forum musyawarah daripada mengalahkan atau mengundur nafsu pribadi demi kepentingan umum.

Di forum-forum musyawarah kita (hanya) banyak basa-basi, tapi di luar dan setelah itu, kita menjadi sosok yang lain, yang sudah tak peduli terhadap komitmen yang kita basa-basikan sendiri.

Tak ada yang marah, itu hanya basa-basi. Tapi sedikitnya, basa-basi itu cukup menggambarkan betapa setiap kita, yang seperti itu, jelas tak punya komitmen sama sekali.

Setelah mendengar penjelasan yang barangkali tak penting saya berikan contohnya, apa yang penting dari musyawarah bersama saat komitmen nihil muncul dari dalam rahim musyawarah tersebut? Apa makna kesepakatan saat muncul niat anti-sepakat.

Kadang, musyawarah hanya pura-pura, formalitas, palsu dan pencitraan. Sedetik setelah musyawarah, kita telah bertindak melanggar kesepakatan–dengan niat atau tanpa niat itu sama saja.

Saat itulah, komitmen jadi mitos dalam setiap aksi kesepakatan atau musyawarah. Lalu apa yang agung dari musyawarah saat ‘komitmen’ menjadi intensi mitologis? Untuk apa hidup anti komitmen, untuk apa dan untuk apa.

Comment