ACEH TIMUR, (News Indonesia) – Dugaan pencemaran udara akibat pembersihan sumur migas AS9 milik PT Medco E&P Malaka di Gampong Panton Rayeuk T, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur, telah menimbulkan keresahan dan korban warga. WALHI Aceh menilai Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) abai menjalankan fungsi pengawasan dan justru terkesan menjadi juru bicara perusahaan.
Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, mengungkapkan sejak awal Agustus, bau menyengat diduga dari aktivitas Medco membuat warga panik. Pada Sabtu (9/8/2025), seorang perempuan 36 tahun terpaksa dirawat di Puskesmas Keude Gerobak akibat mual, muntah, dan pusing. Sejumlah warga lain, termasuk anak-anak, mulai mengalami sesak napas.
Trauma kebocoran gas H₂S pada 24 September 2023 yang merawat 34 warga belum hilang. Kini warga kembali dihantui ancaman serupa. BPMA seharusnya melindungi warga, bukan sekadar mengulang klaim aman dari perusahaan.
“BPMA itu pengawas perusahaan Migas bukan jadi jubir perusahaan, jangan jadi tameng perusahaan,” tegas Ahmad Shalihin, yang akrab disapa Om Sol. Selasa (12/08).
BPMA, sesuai kewenangannya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor 23 Tahun 2015, memiliki tugas melaksanakan, mengendalikan, dan mengawasi kegiatan migas. Karena itu, BPMA harus segera melakukan investigasi independen, mengukur kualitas udara, dan mempublikasikan hasilnya secara transparan.
Peristiwa ini bukan pertama kali terjadi, tetapi sudah berulang. Pada 2021, warga pernah keracunan gas H₂S, dan puncaknya pada 24 September 2023, saat itu 34 orang dirawat intensif di RSUD Zubir Mahmud dan lebih dari 500 warga mengungsi di Kantor Camat Banda Alam selama tiga hari.
Om Sol menegaskan, PT Medco E&P Malaka harus bertanggung jawab penuh atas dampak kesehatan dan lingkungan, sekaligus menjamin keselamatan masyarakat dari aktivitas yang membahayakan. Ia menambahkan, sudah saatnya BPMA turun langsung ke lokasi untuk memastikan pembersihan sumur AS9 tidak menimbulkan dampak bagi warga.
Menurut WALHI, kasus ini bukan sekadar soal teknis migas, tetapi menyangkut hak asasi manusia atas lingkungan yang sehat sebagaimana dijamin UUD 1945 Pasal 28H dan UU No. 32/2009, yaitu menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
“Kementerian ESDM, KLHK, dan Komnas HAM, terutama BPMA harus turun tangan. Kalau pengawasan dibiarkan longgar, ini akan menjadi preseden buruk bagi tata kelola migas di Indonesia. Keselamatan warga harus menjadi prioritas di atas kepentingan produksi. Kesehatan publik tak boleh dikorbankan demi profit industri migas,” ujar Om Sol.
Om Sol menegaskan, BPMA harus menjalankan peran sesuai amanat undang-undang sebagai lembaga pengawas produksi migas di Aceh, bukan justru menjadi tameng perusahaan dengan menyatakan semua dalam kondisi aman. BPMA jangan hanya mengulang penjelasan Medco. Tugasnya adalah memastikan keselamatan warga, bukan membela perusahaan.
“Fakta di lapangan, sekarang sudah ada korban, masyarakat sesak dan mulai panik, makanya perlu segera ke lapangan untuk memastikan keselamatan masyarakat. Kita tidak ingin lembaga ini kehilangan fungsi pengawasnya, kehilangan taring di depan perusahaan, bahkan Asbun (asal bunyi saja),” tegas Shalihin.
WALHI mendesak BPMA, Bupati Aceh Timur, dan instansi terkait menghentikan pencemaran, mempublikasikan hasil uji kualitas udara, serta memastikan hak warga atas lingkungan sehat. Karena keselamatan masyarakat jauh lebih penting daripada kepentingan industri migas.
Petinggi PT Medco Jangan Asbun
WALHI Aceh menyoroti petinggi PT Medco E&P Malaka, baik di Aceh maupun Jakarta, berhenti meremehkan kasus kebauan gas di Aceh Timur. Jika keselamatan warga benar-benar menjadi prioritas, perusahaan harus mengambil langkah komprehensif dan mendengar langsung kebutuhan masyarakat terdampak.
Alih-alih menunjukkan kepedulian dan empati kepada korban, pernyataan manajemen PT Medco justru melecehkan penderitaan warga. Penjelasan soal teknologi canggih tidak cukup, yang dibutuhkan adalah dialog tulus dari hati ke hati dengan masyarakat terdampak.
“Masyarakat itu butuh empati dari perusahaan, bukan barisan security yang semakin menagkut-nakuti masyarakat korban yang bersuara,” tegasnya.
Om Sol menegaskan, jika PT Medco menuding ada pihak lain yang sengaja menciptakan kebauan, maka tuduhan itu harus dibuktikan. Tanpa bukti, pernyataan tersebut hanya akan memicu fitnah dan memperburuk masalah. Hal itu semakin membuat masyarakat, khususnya para korban, kian kehilangan kepercayaan.
“Makanya petinggi perusahaan, terutama yang berada di Jakarta, silakan turun ke lapangan, jangan hanya asbun yang menyebutkan semua aman-aman saja, tak terkecuali BPMA jangan hanya copy paste apa yang disampaikan perusahaan,” tegasnya.
WALHI Aceh meminta manajemen puncak PT Medco jangan bicara dari balik meja di Jakarta seolah masalah ini hanya keluhan kecil. Di Aceh Timur, warga mengalami pusing, mual, sesak napas, bahkan harus dirawat di fasilitas kesehatan akibat kebocoran gas beracun.
Sebelumnya, Kepala Divisi Formalitas dan Hubungan Eksternal BPMA Agus Rusli, turut memberikan apresiasi terhadap langkah Medco E&P dalam melaksanakan perawatan fasilitas produksi secara terencana.
“Medco E&P Malaka telah menjalankan perawatan fasilitas dengan mengutamakan aspek keselamatan dan perlindungan lingkungan. BPMA memastikan bahwa seluruh kegiatan KKKS, termasuk Medco E&P, telah memenuhi regulasi dan standar keselamatan industri hulu migas,” jelas Agus Rusli.
Lebih lanjut, Agus menekankan bahwa BPMA akan terus melakukan pemantauan berkala dan berkoordinasi aktif dengan Medco E&P Malaka serta pemangku kepentingan terkait. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa proses perawatan berjalan sesuai rencana, tanpa mengganggu keselamatan maupun lingkungan sekitar.
Perawatan non-rutin seperti ini sangat diperlukan untuk menjaga keandalan fasilitas produksi, mengurangi risiko kegagalan operasional, dan memastikan kelancaran pasokan gas. Dengan demikian, Medco E&P Malaka dan BPMA bersama-sama berkomitmen untuk menjaga stabilitas produksi migas nasional, sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan di Aceh Timur.
Comment