Sengkarut Data Antara KPU dan Bawaslu, Pengamat Hukum: Jika ‘Ngotot’ Bisa Dipidana

Pengamat Hukum, Rausi Samorano. (Foto: Istimewa)

SUMENEP, (News Indonesia) — Sejak proses validasi data pemilih bergulir, perseteruan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, kian memanas.

Pasalnya, dua institusi penyelenggara Pemilu itu saling pasang badan dengan aturan undang-undang yang berhubungan dengan data pemilih menjelang pelaksanaan Pilkada Sumenep 9 Desember 2020 mendatang.

“Sebenarnya pangkal persoalannya adalah pada proses ketika temuan awal oleh Bawaslu itu tidak ditindaklanjuti atau bahasa kasarnya tidak diindahkan oleh KPU,” kata pengamat hukum, Rausi Samorano, Jumat (18/9/2020).

“Kemudian, berlanjut kepada persoalan AB-KWK, yang ketika diminta oleh Bawaslu tidak diberikan akses oleh KPU dengan alasan bahwa itu adalah data rahasia yang dikecualikan,” imbuhnya melanjutkan perbincangan.

Padahal, sambung Advokat dari Peradi ini, persoalan data yang dikecualikan itu sebenarnya salah persepsi atau diduga salah menafsirkan aturan. Sebab, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.

“Memang, ada beberapa data yang menjadi data rahasia dan tidak boleh disebarkan kepada sembarang orang. Cuma, KPU mengartikan tidak boleh diberikan kepada siapa pun itu, ditafsirkan secara hitam putih atau saklek, tanpa melihat aturan pelaksanaannya,” bebernya.

Aturan pelaksanaan dimaksud, lanjut dia, termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2019 Pasal 54 ayat (1). Ditambah dengan Permendagri Nomor 102 Tahun 2019 Tentang Pemberian Akses dan Pemanfaatan Data Penduduk.

“Kan sudah jelas, dalam Pasal 4 Ayat 1 yang boleh mengakses data penduduk adalah petugas Dukcapil Provinsi, Kabupaten/Kota, dan pengguna. Dalam penjelasannya pengguna ini adalah, lembaga pemerintah, kementerian, atau lembaga yang berkepentingan dengan data itu. Termasuk Bawaslu,” ucapnya.

“Artinya, Bawaslu berhak mendapatkan data, karena dia adalah lembaga negara,” sambungnya.

Data Pemilih Alami Penyusutan 40 Ribu Lebih

Sebanyak 823.543 pemilih telah ditetapkan oleh KPU Sumenep sebagai DPS Pilbup 2020 pada Senin (14/9) malam. Jumlah tersebut menyusut 40 ribu lebih dari data pemilih pada Pemilu terakhir di tahun 2019.

“Terdapat ketidaksamaan DPHP di sembilan kecamatan dengan yang diplenokan KPU 12 September lalu,” kata Komisioner Bawaslu Sumenep, Divisi Hukum, Data dan Informasi, Imam Syafi’i pada Rabu (16/9).

Dari itu pihaknya menduga banyak nama yang tidak masuk dalam proses pemutakhiran data pemilih yang dilakukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP).

“Ada 49.211 daftar pemilih yang hilang, dari itu kami akan menggelar rapat pleno untuk melihat indikasi pelanggaran dalam proses pemutahiran data pemilih,” bebernya.

Meski demikian, Imam mengaku, sudah memberikan rekomendasi bahkan saran dan perbaikan kepada KPU agar divalidasi ulang dengan menghadirkan 9 kecamatan yang diduga bermasalah sebelum di pleno.

Anehnya, pada pleno perbaikan DPHP, KPU hanya memperbaiki satu kecamatan saja, yaitu Kecamatan Pragaan. Sedangkan Kecamatan lain, seperti Saronggi, Guluk-Guluk, Bluto, Talango, dan Kecamatan Kangayan diabaikan.

“KPU tidak bisa memberikan penjelasan yang pasti ketika ditanya soal perubahan data tersebut,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Komisioner KPU Sumenep, Divisi Perencanaan Data dan Informasi, Syaifurrahman mengatakan, data yang bermasalah sebenarnya hanya 1 kecamatan. Yaitu, Kecamatan Pragaan. Namun, sudah dilakukan perbaikan sebelum dilaksanakan pleno di hotel utami pada Sabtu (12/9) lalu.

“Kemarin, ketika ditemukan hal itu pada tanggal 10 September kami langsung memerintahkan kepada PPK untuk melakukan rapat pleno kemudian diberita acarakan kronologisnya seperti apa dikoordinasikan kepada Panwascam dan diberikan hasil perbaikannya,” katanya.

“Hasilnya, disampaikan pada tanggal 12 September kemarin,” imbuhnya.

Menurutnya, jika Bawaslu menemukan 9 kecamatan yang bermasalah pada jumlah A-KWK, seharusnya disampaikan pada saat pleno di Hotel Utami.

“Ketika PPK menyampaikan itu, tidak ada masukan dari Bawaslu apakah itu kesalahan atau apa tidak ada. Baik saran atau masukan, yang kami ketahui cuma untuk yang Kecamatan Pragaan. Sehingga, kami lakukan perbaikan,” tegasnya.

Sehingga, kata dia, pihaknya tetap melanjutkan pembahasan pleno DPHP pada Senin (14/9) malam itu. Sebab, yang masih belum sinkron hanya tinggal 1 kecamatan saja. Yaitu, Kecamatan Pragaan.

“Lah, waktu itu juga Bawaslu menyampaikan bahwa bukan hanya Pragaan saja yang terjadi kesalahan seperti itu, padahal yang lain sudah selesai sebelum tanggal 12 September, makanya kami lanjutkan pembahasan,” tandasnya.

Dugaan Pelanggaran, Hukum dan Solusi

Jika persoalan itu tetap tidak menemui jalan keluar, menurut pengamat hukum, Rausi Samorano, maka bisa terjadi tindak pidana Pemilu. Akibatnya, akan ada persoalan yang mengarah pada data pemilih di Pilpres tahun 2019 lalu.

“Bawaslu ini sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu bahwa mereka punya hak untuk mengawasi. Dalam hak pengawasan itu diantaranya adalah mengawasi validasi data, Coklit, dan semacamnya. Artinya, Bawaslu berhak mendapatkan data, karena dia adalah lembaga negara,” terangnya.

“Dan ini akan menjadi persoalan terhadap hasil dari Pilkada nanti, ini juga bisa dijadikan bukti ketika ada persoalan ketika Pilkada selesai, misalnya mau menggugat ke MK,” ungkapnya.

Alasannya, kata dia, kisruh data pemilih yang sudah ditetapkan menjadi DPS akan melahirkan anggapan, bahwa KPU tidak patuh pada rekomendasi Bawaslu. Akibatnya, data pemilih bisa diragukan atau bahkan bisa dijadikan telaah dan sumber konfirmasi untuk dugaan penggelembungan suara pada Pilpres tahun 2019 lalu.

“Nah, makanya, ini harus diperjelas oleh KPU, kemana data ini, ini bahaya bukan hanya terhadap KPU saja, melainkan kepada proses demokrasi yang sedang berjalan ini,” tegasnya.

Untuk itu, ia berharap agar kedua belah pihak segera duduk bareng untuk mencari solusi yang tepat dalam menyelesaikan persoalan tersebut.

“Iya, jika pun mereka tetap pada pendiriannya masing-masing tidak masalah. Hanya saja, saya sarankan Bawaslu kembali ke Pasal 219 UU 07 tahun 2017. Laksanakan juga pasal 480, 510 dan 512 biar KPU yang ngotot itu akan berurusan dengan penyidik dengan ancaman 3 tahun penjara dan denda Rp. 36 juta,” tandasnya. (*)

Comment