Menakar Kekuatan Paslon Pilkada Sumenep, Siapa Lebih Pantas?

Foto: Darul Hasyim Fath, politisi PDI Perjuangan, saat menjadi pembicara di serial diskusi Pilkada yang digagas Ruang Tengah Sumenep (RTS) bertajuk 'Achmad Fauzi vs Fattah Jasin, siapa yang lebih pantas?, di salah satu kedai kopi Sumenep.

SUMENEP, (News Indonesia) — Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sumenep, yang bakal diselenggarakan 9 Desember 2020 mendatang, semakin menarik untuk diperbincangkan guna menakar kekuatan masing masing bakal calon yang akan bertarung dalam konstalasi politik lima tahunan tersebut.

Hal itulah yang melatar belakangi komunitas Ruang Tengah Sumenep (RTS) menggagas diskusi pilkada bertajuk ‘Achmad Fauzi vs Fattah Jasin, siapa yang lebih pantas? Dengan menghadirkan Pegiat Literasi dan Komunikasi Politik IAIN Madura Moh. Zuhdi, sebagai pembicara Darul Hasyim Fath, yang saat ini menjabat anggota fraksi PDI Perjuangan. Sayangnya, M. Muhri yang juga dijadwalkan menjadi pembicara dalam diskusi tersebut berhalangan hadir.

Ketua Ruang Tengah Sumenep (RTS), Abdul Gani menjelaskan, ruang diskusi yang digagas tidak untuk mendukung salah satu bakal calon, melainkan untuk memberikan gagasan bagi calon pemilih di Sumenep.

“Kami hadir untuk memberikan pencerahan perihal gawe besar pilkada Sumenep untuk masyarakat. Ke depan kami mengagendakan diskusi pilkada dalam bentuk serial, target kami 6-7 kali, bahkan di bulan November nanti, kami akan mempublis kepada media hasil dari angket jejak pendapat yang disebarkan,” terangnya. Sabtu (15/8/2020) sore.

Sementara itu, Pegiat Literasi dan Komunikasi Politik IAIN Madura Moh. Zuhdi pada sesi wawancara mengutarakan sejumlah pandangannya perihal kekuatan dua kandidat bakal calon yang tengah menjadi perbincangan publik.

Kedua kandidat memiliki magnet kuat dengan latar belakang berbeda, utamanya dari sudut pandang rekomendasi sejumlah partai yang turun ke masing masing pasangan bakal calon.

“Keduanya sama-sama memiliki kapasitas, tidak mungkin partai tiba-tiba menjatuhkan rekomendasi tanpa ada nilai yang bisa meyakinkan partai, politik itu dinamis, tidak hanya bisa dimaknai kepentingan untuk mencapai kekuasaan, tapi ada seni di dalamnya,” tuturnya.

Melihat kekurangan dan kelebihan dua kandidat, lanjut Kaprodi Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Madura ini, tentu setiap orang memiliki sudut pandangan beragam, namun dari segi pengalaman, diantara mereka figur pemimpin sudah terlihat, dari background birokrasi, politisi hingga santri.

“Menjabarkan kelebihan dan kekurangan kandidat, tentu itu subjektifitas, setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, namun dari segi pengalaman, keduanya juga punya pengalaman di birokrasi,” imbuhnya.



Untuk analisa basis suara, pun potensi menang, kata Zuhdi, saat ini terlalu dini untuk memberikan pandangan, ia beralasan masih menunggu pendaftaran hingga penetapan nomor urut di KPU.

“Kita belum bisa memprediksi itu lah, kan masih 24 September baru penentuan nomor urut kandidat. Nah di situ nanti baru kita bisa melihat, jargonnya apa, visi misinya apa. Termasuk sudah bisa menganalisa basis suara, pun perihal kekurangan dan kelebihannya,” urainya.

“Fauzi sebagai petahana pasti sudah memiliki bekal pengalaman selama 5 tahun di bidang pemerintahan sebagai Wabup, sementara Fattah Jasin pengalamannya juga tidak diragukan, pernah menempati posisi strategis di birokrasi, kepala dinas, PLT Bupati Pamekasan misalnya, jadi kami meyakini siapapun yang terpilih tidak akan gugup lagi,” imbuhnya.

Darul Hasyim Fath yang hadir sebagai pembicara tunggal karena ketua Fraksi PKB, M. Muhri berhalangan hadir, mengapresiasi gagasan komunitas Ruang Tengah Sumenep (RTS) yang memiliki geliat intelektual untuk mencerdaskan masyarakat.

“Para pihak yang punya konsen terhadap proses demokrasi, geliat intelektual seperti ini harus didukung bersama,” sebutnya.

Darul yang hadir sebagai kader partai, merasa terpanggil untuk memberikan pendidikan politik terhadap generasi milenial, karena anak muda acapkali menjadi penggandrung skeptisisme.

“Dari dulu, dari jaman Yunani kuno, anak muda itu punya skeptisisme. Kalau gampang menjadi fanatik, tiba-tiba menjadi barisan yang loyal tanpa alasan, itu bukan anak muda. Keraguan menjadi pilihan para pemuda, dan itu normal,” tegasnya. (*)

Comment