JEMBER, (News Indonesia) – Sengketa memperebutkan tanah eks lokalisasi di Desa Puger Kulon antara pihak keluarga Bu Supren dengan Pemkab Jember kembali bergulir di meja Pengadilan Negeri Jember.
Gugatan sengketa lahan eks lokalisasi Puger ini terjadi bermula saat pemilik lahan (Supren dkk) hendak menawarkan tanah miliknya tersebut untuk dijual. Namun penjualan tanah ini ditentang oleh Pemdes Puger Kulon dengan alasan bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara.
Pernyataan Pemdes Puger Kulon jika tanah eks lokalisasi Puger adalah tanah negara, membuat pemilik lahan melakukan gugatan.
Sidang perdata pada, Senin (20/5/2024), mendengarkan keterangan dari saksi pihak Pemkab Jember sebagai tergugat 1, Pemerintah Kecamatan Puger sebagai tergugat 2, dan Pemdes Puger Kulon sebagai tergugat 3.
Para saksi memberikan klarifikasi terkait asal muasal tanah eks lokalisasi di Puger Kulon.
Baca Juga: Polda Jatim Selidiki Pabrik Pupuk Organik, Begini Respon Warga Jember
Burman selaku saksi tergugat 1 menyatakan, pada tahun 1989 dirinya ditunjuk oleh Pemda menjadi bagian tim pengukur tanah yang akan dijadikan pemukiman warga dan tempat lokalisasi.
Dalam pengukuran itu, tim Burman tidak mengukur tanah milik Supren. Diakuinya, tanah yang diukur merupakan tanag pemerintah atau negara.
“Yang diukur itu tanah pengairan yang akan digunakan untuk lokalisasi, tidak ada tanah milik Mbok Supren,” ucapnya ke majelis hakim.
Kesaksian Burman, spontan dibantah oleh kuasa hukum pihak Supren. Budi Haryanto selaku kuasa hukum menunjukkan berita acara yang masuk sebagai barang bukti.
Berita acara yang menunjukkan tanah Supren juga diukur itu, terdapat tanda tangan beberapa orang diantaranya Camat, Kepala Desa Puger Kulon, hingga Burman.
Lucunya, Burman malah mengelak dan menyalahkan Pemkab dan Camat terdahulu atas berita acara yang ditandatanganinya.
Ferdy Andreas kuasa hukum tergugat 1 Pemkab Jember mengatakan, ia meyakini tanay yang disengketakan adalah tanah irigasi sehingga murni milik pemerintah. Sedangkan tanah yang diakui milik Supren disebut sudah diberikan ganti rugi.
Ditanya soal kesaksian Burman, Andreas memaklumi ada miss dalam keterangannya lantaran usia Burman yang sudah sepuh.
“Beliau mengakui itu tanda tangannya. Beliau mungkin lupa sudah mengukur sebagian tanahnya Bu Supren. Tetapi beliau mengaku hanya mengukur tanah pemerintah atas dasar perintah kepala desa. Yang jelas di dalam berita acara beliau ikut dalam tim pengukur saat itu,” jelas Andreas.
Ia menyayangkan, kenapa masalah ini baru dimunculkan sekarang sehingga ada beberapa saksi yang sudah tidak ada kabarnya.
Sementara, Budi Haryanto selaku kuasa hukum Supren dkk menyebut bahwa merupakan hal yang wajar bila saksi tidak mengakui bahwa ada tanahnya ahli waris di kawasan eks lokalisasi karena mereka saksi pihak lawan.
“Itu wajar, tapi tadi ada beberapa kali saksi saya tanyakan dan kroscek dengan bukti bukti yang saya sebutkan tadi dilampirkan oleh tergugat 1,2, dan 3. Disana menyebutkan ada tanahnya Mbok Supren seluas 900m² bahkan kepala desa menyebutkan ada 2100m² itu kita tanyakan dan saksi bilang tidak tahu,” ucap Budi.
Pengakuan saksi menurut Budi bertolak belakang dengan bukti yang ada. “Faktanya di bukti yang saya tunjukkan tadi ada. Kenapa saksi menyangkal hal itu. Jadi surat keterangan itu menerangkan bahwasanya tanganya warga yang digunakan untuk lokalisasi itu sekitar luasnya 900m² tahun 1989. Kemudian 2013 kades mengeluarkan surat kepada Camat bahwa tanahnua Supren yang dibuat lokalisasi itu luasnya 2100m². Nah ini ada kan perbedaan, jadi ada ketidak sinkronan berapa sebenarnya tanahnya warga itu. Sampai saat ini kami meyakini sesuai bukti yang kami miliki luasnya tanah warga itu sekitar 7000m²,” tegasnya.
Budi juga menjelaskan, Supren dkk sejatinya telah lama menuntut kejelasan akan status tanahnya ke Pemkab Jember. Namun, birokrasi yang rumit mulai dari tingkat desa sampai ke Pemda membuat selama itu membuat Supren akhirnya mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jember. (*)
Comment