JAKARTA, (News Indonesia) – Dugaan pelanggaran etika dalam proses persidangan hak asuh anak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan menjadi sorotan publik. Hal ini dipicu oleh tindakan pengacara Tegar Firmansyah, SH., MH., kuasa hukum Teguh Prabowo, yang diketahui mewawancarai langsung anak di bawah umur anak dari pasangan Mirna dan Teguh Prabowo untuk dijadikan barang bukti dalam persidangan.
Kasus tersebut bermula dari gugatan hak asuh anak pasca perceraian antara Mirna dan Teguh Prabowo. Persidangan yang telah berlangsung beberapa bulan terakhir itu sempat diwarnai berbagai tudingan, mulai dari dugaan perselingkuhan, isu tindakan medis pribadi, hingga tuduhan pindah agama.
Teguh Prabowo sempat menuduh mantan istrinya berpindah keyakinan mengikuti seorang pria yang diduga sebagai selingkuhannya. Namun, berdasarkan informasi yang dihimpun, pria tersebut beragama Hindu bukan Kristen sebagaimana yang dituduhkan. Sejumlah bukti percakapan yang menjadi dasar tuduhan itu kini disebut sedang disita pihak kepolisian dalam perkara lain.
“Sepertinya ada potensi illegal access di sini,” ujar Koordinator Nasional TRC PPA, Jeny Claudya Lomawa saat dikonfirmasi. Sabtu (15/11).
Dalam perkembangan terbaru, pengacara Tegar Firmansyah dikabarkan mewawancarai langsung anak Mirna tanpa pendamping psikolog atau lembaga perlindungan anak resmi. Video wawancara tersebut, yang diduga berisi pertanyaan bernada sugestif, kemudian diajukan sebagai barang bukti di persidangan.
Langkah itu menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk pemerhati anak dan kalangan hukum, yang menilai tindakan tersebut berpotensi melanggar Kode Etik Advokat dan prinsip Perlindungan Anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
“Ini bentuk eksploitasi anak dalam proses hukum. Anak seharusnya tidak dijadikan alat bukti untuk kepentingan salah satu pihak,” tegas Ketua Komnas Perlindungan Anak, saat dimintai tanggapan.
Jeny Claudya dari TRC PPA juga menyampaikan keprihatinannya.
“Kami sering menerima laporan serupa, tetapi kali ini yang terlibat justru aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Ini harus diselidiki. Anak tidak boleh menjadi korban pertarungan ego orang tua,” ujarnya.
Selain tindakan pengacara, peran majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan kini turut menjadi sorotan. Sejumlah pengamat menilai, pengadilan seharusnya menolak alat bukti yang diperoleh dengan cara yang berpotensi melanggar hak anak, terlebih tanpa keterlibatan psikolog anak atau lembaga perlindungan resmi.
“Kalau pengadilan membiarkan hal ini, berarti mereka turut melanggar prinsip best interest of the child,” ujar seorang pengamat hukum keluarga yang enggan disebutkan namanya.
Menurut para pemerhati hukum keluarga, kasus ini menunjukkan masih lemahnya pemahaman terhadap etika perlindungan anak di lingkungan peradilan agama. Padahal, dalam perkara hak asuh, aspek psikologis dan kesejahteraan anak seharusnya menjadi prioritas utama.
Meningkatnya perhatian publik mendorong desakan kepada Komisi Yudisial dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) untuk melakukan evaluasi etik terhadap pihak-pihak yang terlibat, baik pengacara maupun majelis hakim yang menangani perkara.
Sejumlah pengamat menilai, penggunaan anak sebagai alat bukti tanpa pendamping profesional dapat dikategorikan sebagai bentuk eksploitasi emosional dan psikologis yang berpotensi menimbulkan dampak traumatis jangka panjang.
“Ini bukan hanya persoalan hukum, tapi juga persoalan kemanusiaan. Anak bukan objek dan tidak boleh dijadikan tameng dalam konflik orang dewasa,” tutup Jeny Claudya.
Kasus Mirna dan Teguh Prabowo kini menjadi sorotan terhadap praktik peradilan keluarga di Indonesia, yang dinilai masih menghadapi tantangan besar dalam menegakkan prinsip perlindungan anak di tengah upaya pencarian keadilan.
Comment