JAKARTA, (News Indonesia) – Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Indonesia, selaku kuasa pendamping Ibu Mirna Novita dalam perkara hak asuh anak di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor perkara 841/PDT.G/2023/PA.JS, bersama pendamping utama Jenny Claudya Lumowa, menyampaikan kekhawatiran serius mengenai sejumlah aspek proses persidangan.
Kekhawatiran tersebut mencakup penutupan akses terhadap isi putusan, dugaan ketidakseimbangan proses persidangan, serta dugaan keterlibatan oknum dalam pengambilan bukti elektronik.
Ketua nasional TRC PPA, Jenny Claudya Lumowa menjelaskan bahwa pihaknya menyoroti beberapa tuduhan yang diarahkan kepada Ibu Mirna dalam proses peradilan. Menurutnya, sejumlah tuduhan dinilai tidak disertai bukti yang memadai.
“Tuduhan bahwa Ibu Mirna mengajak anak bergaul dengan residivis narkoba dan membawa anak ke tempat yang disebut ‘menyajikan narkoba’ di Bali sangat aneh dan tidak memiliki bukti kuat,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Istilah ‘menyajikan narkoba’ seolah-olah menggambarkan layanan langsung, padahal tidak ada bukti bahwa tempat yang disebut—termasuk Kudeta Restoran—pernah terlibat kasus narkoba. Ibu Mirna sendiri menjelaskan bahwa kunjungan ke Bali adalah untuk wisata budaya dan prosesi melukat di Pura Tirta Empul.”
Ketua TRC PPA juga menyebut bahwa tuduhan tentang keterlibatan “residivis narkoba” tidak dijelaskan secara rinci mengenai siapa yang dimaksud. Meskipun pihak pendamping menilai tuduhan tersebut tidak berdasar dan bukti yang diajukan oleh pihak tergugat dinilai kurang transparan, putusan hak asuh anak tetap diberikan kepada pihak ayah.
Sementara itu, Jenny menyampaikan adanya kejanggalan dalam bukti percakapan (chat) yang diajukan dalam persidangan.
“Orang yang menjadi pemilik handphone, yang disebut sebagai sumber bukti chating itu, sedang berada di penjara, dan TKP-nya berada di Polres Badung, Bali,” kata Jenny.
“Saya sangat mencurigai siapa yang sebenarnya mengambil bukti chating tersebut. Apakah proses pengambilannya sesuai aturan atau ada oknum yang terlibat untuk memanipulasi bukti? Hal ini perlu diklarifikasi,” tegasnya.
Naumi juga mengungkapkan dua hal lain yang mereka nilai janggal sepanjang proses persidangan.
Pertama, adanya kedekatan antara tergugat dan seorang dokter forensik di RS Polri Kramat Jati yang menangani pemeriksaan fisik dalam perkara ini.
“Tergugat bahkan membawa roti kepada dokter tersebut saat pemeriksaan berlangsung. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai objektivitas proses pemeriksaan,” ujar ketua TRC PPA.
Kedua, TRC PPA menyoroti dugaan kedekatan antara tergugat dan seorang panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan bernama Atun, yang turut terlibat dalam perkara ini. Menurut TRC PPA, panitera tersebut diduga telah mengetahui rencana banding jauh sebelum prosedur resmi dimulai.
“Kedekatan itu, ditambah dengan kemampuan mengetahui informasi internal tentang rencana banding sebelum waktunya, jelas mengganggu rasa percaya terhadap proses hukum yang seharusnya adil dan objektif,” tegas ketua TRC PPA.
TRC PPA menambahkan bahwa akses terhadap isi putusan, yang sebelumnya dapat dilihat publik melalui sistem informasi peradilan, kini tidak lagi terbuka.
“Penutupan akses putusan ini menimbulkan keraguan besar dan memperkuat dugaan adanya ketidakseimbangan proses. Transparansi adalah bagian inti dari prinsip peradilan yang terbuka,” ujar ketua TRC PPA.
Pihak TRC PPA menyatakan akan terus berupaya memperoleh klarifikasi dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan terkait penutupan akses putusan serta dugaan ketidakwajaran dalam proses peradilan. Organisasi tersebut menegaskan komitmennya untuk memastikan bahwa hak-hak Ibu Mirna dan anaknya tetap terlindungi.
Comment