Warga Panton Rayeuk T, Trauma Terpapar Gas Beracun Dan Semburan Dollar PT Medco

Foto : Suasana ibu-ibu dan anak- anak saat mengungsi di kantor Camat Banda Alam.

ACEH TIMUR, (News Indonesia) – Sore yang cerah, pada hari Selasa 26 agustus 2025, tampak beberapa perempuan dan anak anak duduk dibawah pohon kelapa sawit depan halaman kantor Camat Banda Alam, Kabupaten Aceh Timur. Dari wajah ibu-ibu sekilas tampak sedikit lelah dan lesu, entah karena kurang tidur atau ditambah rasa cemas yang mendalam.

Mereka yang berkumpul di Kantor Camat, bukan menunggu antrian bantuan sosial atau mengurus administrasi, akan tetapi mereka mengungsi, memyelamatkan diri dan kekuarga dari cengkraman gas yang menakutkan, menurut Julia(24) dirinya bersama warga Panton Rayeuk T mengaku sangat trauma atas peristiwa tahun 2023 lalu, sehinga terpaksa meninggalkan rumah, usaha, kebun, ternak serta barang lainnya, hanya bertujuan menyelamatkan diri.

“Kami menyelamatkan diri, sebab warga dari subuh sudah mencium bau gas yang sangat menyengat, apalagi ada yang sudah jatuh sakit, kepala pusing, mual dan badan lemas setelah mencium bau busuk yang berasal dari sumur gas milik.PT Medco,” ujar Yulia.

Desa Panton Rayeuk T yang dulunya dikenal damai, aman dan nyaman, Desa itu terletak di Kecamatan Banda Alam, jauh dari hiruk pikuk kota, tempat masyarakatnya menggantungkan hidup pada sawah, kebun, dan alam yang memberi rezeki tanpa banyak tuntutan. Anak-anak bermain bebas di halaman rumah, kaum ibu menjemur padi, dan kaum bapak pulang sore dengan peluh bercampur senyum setelah seharian berladang. Namun suasana tenteram itu seakan direnggut dengan kejam ketika pada tahun 2023, desa ini menjadi saksi sebuah tragedi yang tak pernah mereka bayangkan: keracunan massal akibat gas beracun yang diduga berasal dari sumur gas milik PT Medco E&P Malaka.

Hari itu, udara di desa mendadak berubah. Warga mulai merasakan gejala aneh: kepala pusing, perut mual, otot-otot melemas, muntah-muntah tak terkendali. Satu per satu tubuh terkapar, hingga jumlahnya mencapai 20 orang yang harus segera ditangani. Panik melanda, ibu-ibu berteriak, anak-anak menangis ketakutan, dan para bapak bergegas membawa sanak saudara keluar rumah. Dalam hitungan jam, rasa damai itu runtuh. Lebih dari 600 jiwa akhirnya mengungsi ke kantor camat. Mereka tidak lagi yakin rumah sendiri adalah tempat aman. Mereka tidak lagi percaya udara yang dihirup setiap hari adalah udara kehidupan. Sebaliknya, udara berubah menjadi kutukan.

Warga yakin, sumber bencana itu bukanlah misteri. Mereka menuding aktivitas pencucian dan perawatan sumur gas di Alue Siwah milik PT Medco E&P Malaka sebagai penyebabnya. Gas H₂S yang beracun, yang selama ini didiamkan dan ditutup-tutupi, kini menyeruak dan memaksa orang-orang desa sederhana itu merasakan neraka di tanah sendiri. Betapa ironisnya, di negeri yang katanya kaya sumber daya alam, justru rakyat kecil menjadi korban paling menderita. Yang menikmati hasil hanya segelintir, sementara yang menanggung derita adalah ribuan jiwa di pedesaan.

Namun yang paling menyakitkan bukan hanya serangan gas itu, melainkan sikap para penguasa yang seolah tuli melihat penderitaan rakyatnya. Bupati Aceh Timur, yang seharusnya berdiri di garda depan membela masyarakat, justru memilih menenangkan Medco. Ia datang, melihat, dan dengan enteng mengatakan tidak ada dampak serius dari keberadaan perusahaan itu. Kata-kata seperti itu jatuh bagai belati di dada warga. Mereka yang muntah-muntah, yang terkapar, yang trauma, seolah dianggap tidak pernah ada. Seolah mereka hanyalah angka yang bisa dihapus dengan sebuah pernyataan politik.

“Kami sudah menurunkan tim dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten (DLHK) Aceh Timur dan berkoordinasi dengan PT Medco dan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Kami mendapatkan laporan masih diambang batas normal, tidak ada persoalan yang signifikan,” kata Al-Farlaky, Senin (18/08).

Sontak saja, pernyataan Bupati Aceh Timur seperti tersayat pisau, kenapa tidak tanpa mendengarkan keluh kesah masyarakat yang sangat menderita dan trauma, mengatakan tidak ada persoalan yang signifikan yang berbahaya bagi masyarakat.

“Sebauh pernyataan yang salah dan sangat keliru, kenapa Bupati tidak menanyakan kepada kami warga, hanya mendengar petugas perusahaan, kami.yanh merasakan,” kata Suhendra.

Sejak tragedi itu, Panton Rayeuk T tidak lagi sama. Malam-malam dilalui dengan rasa cemas. Setiap kali angin bertiup membawa aroma aneh, warga kembali teringat pada hari ketika tubuh mereka lemah dan rumah berubah jadi jebakan. Anak-anak tak lagi berani bermain jauh, orang tua tak lagi tenang menjemur padi. Mereka hidup dengan rasa takut yang membekas, rasa takut yang ditinggalkan oleh Medco, ditambah rasa kecewa karena pemimpin daerah lebih sibuk merangkul korporasi daripada menenangkan rakyatnya sendiri.

Bayangkan, desa kecil yang seharusnya menikmati pembangunan, justru dipaksa menanggung risiko dari industri besar. Mereka tidak pernah meminta gas beracun itu. Mereka tidak pernah meminta agar perut bumi dibor tanpa kendali. Mereka hanya ingin hidup aman, sehat, dan tenang. Tetapi kenyataan berkata lain: tanah mereka dijadikan ladang eksploitasi, udara mereka diracuni, dan hak mereka untuk hidup dengan nyaman dilucuti sedikit demi sedikit.

PT Medco E&P Malaka seakan berdiri sebagai raksasa yang kebal hukum. Sementara rakyat kecil yang menjerit hanya dianggap suara-suara nyaring tanpa arti. Ironinya, pejabat daerah yang dipilih dengan janji melindungi rakyat, kini tampil sebagai juru bicara tidak resmi bagi perusahaan. Bupati Aceh Timur dengan entengnya membela Medco, bahkan mengatakan tidak ada dampak serius. Pernyataan itu bukan saja keliru, tapi juga menyakitkan. Ia menutup mata terhadap bukti nyata: ratusan orang mengungsi, puluhan warga jatuh sakit, dan trauma kolektif yang tidak akan hilang dalam waktu singkat.

Apakah ini harga pembangunan? Apakah rakyat harus menjadi korban setiap kali perusahaan besar masuk dengan dalih investasi? Jika benar pembangunan dimaksudkan untuk kesejahteraan rakyat, maka mengapa rakyat Panton Rayeuk T justru menderita? Pertanyaan-pertanyaan itu menggantung, namun tak seorang pejabat pun berani menjawab. Semua sibuk melindungi nama besar perusahaan, sementara rakyat ditinggalkan dalam sepi.

Kini, Panton Rayeuk T hidup dalam dua wajah: wajah masa lalu yang penuh damai, dan wajah masa kini yang penuh cemas. Warga tidak lagi percaya pada janji-janji pejabat, tidak lagi yakin pada narasi “tidak ada dampak” yang selalu didengungkan. Mereka hanya tahu bahwa tubuh mereka pernah lumpuh, anak-anak mereka pernah muntah-muntah, dan ratusan jiwa mereka pernah diusir dari rumah sendiri oleh udara beracun. Itu adalah kebenaran yang tidak bisa dihapus oleh konferensi pers siapa pun.

Tragedi ini bukan hanya soal lingkungan, tetapi soal kemanusiaan. warga selama ini hanya berharap pada Bupati Aceh Timur Iskandar Farlaky, akan tetapi harapan tersebut buyar setelah pernyataannya yang terkesan lebih memihak kepada perusahaan, ditambah lagi tidak ada kepedulian dan penanganan saat warga mengungsi.

Comment