Sebut Kliennya Banyak Membantu, Kuasa Hukum Terdakwa Pembunuhan di Kencong Kecewa Dituntut Pidana Mati

Foto: Dewatoro Putra atau Tara (tengah) kuasa hukum terdakwa Agus Wicaksono.

Jember, (News Indonesia) – Sadi Adi Broto, Siti Nurhasanah, dan Agus Wicaksono tiga terdakwa kasus pembunuhan yang terjadi 1 November 2023 dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Penuntut umum meyakini ketiga terdakwa benar-benar tindak pidana secara bersama-sama menghilangkan nyawa orang sesuai pasal dakwaan.

Tuntutan mati ini terang saja membuat para terdakwa kecewa.

Dewatoro Putra kuasa hukum terdakwa Agus Wicaksono pun mengaku kecewa dan tidak sependapat dengan keputusan JPU. Pasalnya, sejak menjalani pemeriksaan di kepolisian kliennya sangat kooperatif dan membantu terbongkarnya kasus pembunuhan yang menewaskan Hasiyah.

“Terkait tuntutan JPU kami tidak sepakat karena klien kami memang melakukan tindak pidana kejahatan turut serta melakukan pembunuhan. Tapi perlu ada pertimbangan dari proses mulai tingkat penyidikan yang mengungkapkan saksi mahkota terungkapnya kasus ini yaitu klien kami. Jadi proses penyidikan, tahap dua di kejaksaan, kemudian proses sidang yang mempermudah itu klien kami. Maka kami sangat kecewa dengan tuntutan mati,” ucapnya.

Advokat muda yang akrab dipanggil Tara ini menilai, dari sejumlah alat bukti yang ada di persidangan hanya keterangan dari kliennya yang sangat krusial. Sehingga, kesaksian Agus Wicaksono dia anggap sangat membantu jalannya persidangan dan membuat terang kasus tersebut.

Baca Juga: Diputuskan untuk Mediasi, Kuasa Hukum Kasus Penipuan di Sukowono Sebut Tak Ada Kata Damai

Atas dasar itu, Tara sangat keberatan jika hukuman kliennya disamakan dengan terdakwa lainnya. “Jadi kami sangat keberatan, antara orang yang benar-benar jujur membantu proses persidangan dengan orang-orang yang tidak mengakui sama sekali atas tindak pidana yang dilakukan, maka dari itu kami melakukan pembelaan,” tuturnya.

Lebih jauh Tara mengutip Surat Edaran Kejaksaan Agung tentang pedoman penuntutan tindak pidana. Disebutkan, terdakwa yang bisa terancam pidana mati syaratnya adalah kejahatan yang dilakukan dengan cara sadis, dilakukan secara berencana, menimbulkan korban jiwa dan vital, serta tidak ada alasan yang meringankan.

Dari pedoman tersebut, Tara menilai kliennya tidak masuk dalam kategori. Bahkan, dalam kasus yang bermula dari utang piutang itu kliennya mencoba memediasi korban Hasiyah dengan Sadi untuk musyawarah.

“Sesuai fakta persidangan klien kami hadir, menghadirkan korban untuk bermusyawarah dengan Sadi, bukan untuk melakukan tindak pembunuhan. Apabila di sana dipaksa untuk melakukan suatu tindak pidana dalam fakta persidangan (Agus Wicaksono) itu dipaksa oleh Sadi. Anak korban (terdakwa Siti Nurhasanah) juga mengakui perbuatan itu dilakukan oleh Sadi,” urai Tara yang bersikukuh kliennya dipaksa terdakwa Sadi untuk melakukan pembunuhan.

Lebih jauh, Tara berharap majelis hakim bisa melihat fakta-fakta persidangan untuk kliennya agar bisa lolos dari vonis hukuman mati. Terlebih, kliennya merupakan saksi mahkota yang seharusnya hukumannya bisa dipertimbangkan.

“Intinya kami sebagai kuasa hukum kecewa dengan adanya tuntutan yang sama, sedangkan kedua terdakwa lainnya tidak membantu apapun dalam proses persidangan. Kami tidak mau membebaskan klien kami, karena sudah melakukan salah dan mengakui, cuma kami ingin perlakuan yang berbeda karena sudah membantu,” tandasnya.

Keberatan yang sama disampaikan kuasa hukum terdakwa Siti Hasiyah, Ihya Ulumudin.

Pria dengan panggilan Udik ini dalam nota pembelaannya menyebutkan beberapa kejanggalan. Pertama, soal perpindahan kuasa hukum dari pengacara yang ditunjuk oleh kepolisian dengan pengacara dari penunjukan keluarga.

Selain itu, berkas acara pemeriksaan (BAP) sampai persidangan terakhir belum diterima oleh penasehat hukum terdakwa Siti Nurhasanah.

“Kami PH terdakwa yang baru saat ini, hingga sidang yang ke 5 belum menerima BAP walaupun itu adalah hak yang wajib diberikan oleh penyidik untuk PH tersangka sesuai Pasal 72 KUHAP, namun belum juga diberikan,” ujarnya.

Udik juga mengungkapkan, kliennya juga mengalami sejumlah tekanan selama proses penyidikan.

Seperti yang tercantum dalam nota pembelaannya, diantaranya :

Bahwa saat diserahkan terdakwa kepada pihak kepolisian oleh pamannya untuk dimintai keterangan, terdakwa dibawa ke daerah pantai selatan yang sepi dan mengalami kekerasan fisik seperti dijambak, dipukul dan ditendang oleh banyak oknum polisi.

Bahwa, kemudian dibawa ke Polres Jember dan dalam ruangan atas (Pidum) terdakwa juga mengalami tekanan psikis dan beberapa kekerasan fisik lainnya.

Bahwa terdakwa tidak diberikan kesempatan membaca isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan hanya ditekan menuruti apa kata penyidik serta tandatangan cap jempol. (*)

Comment