Bioskop di Pamekasan Ditolak Ulama, Dunia Hiburan dan Kesenian Makin Buram?

Foto: Kondisi gedung Kota Cinema Mall (KCM) Pamekasan, saat proses pengerjaan. (Foto; istimewa)

PAMEKASAN, (News Indonesia) — Hingga saat ini, tuntutan aksi damai permintaan para pelaku seni di Kabupaten Pamekasan belum menemukan titik terang.

Aksi damai yang dilakukan para pelaku seni dan pecinta hiburan pada Januari 2020 lalu itu, nyatanya tak mendapatkan respon apa-apa, hingga berujung pada gagal mentasnya Group musik Sabyan dan hanya berakhir dengan jumpa fans.

Baru-baru ini, seluruh ulama gabungan dari beberapa ormas islam di Pamekasan menolak keras keberadaan Kota Cinema Mall Pamekasan (KCM Pamekasan).

Penolakan tersebut disinyalir berdasarkan pertimbangan dari para ormas dan ulama dengan dalih tidak sesuai dengan jargon gerbang salam.

Salah satu pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pamekasan, Ali Rahbini, mengatakan, keberadaan Cinema Mall ditentang karena tidak sesuai dengan kearifan lokal di Pamekasan. Sehingga, pembangunan di Madura harus bernilai islami.

“Aspek keislaman harus diperhatikan,” katanya.

Menurut Ali Rahbini, tempat hiburan di Pamekasan dianggap sebagai biang dari segala masalah. Ia beralasan penolakan itu lantaran para kiai tidak diajak rembuk dari awal pembangunan.

“Kiai tidak anti soal itu, cuma ini soal imbasnya,” dalih Ali.

Saat ini, pihaknya bersama seluruh ormas tetap menolak keberadaan cinema mall hingga ada komunikasi antara kedua belah pihak.

“Kita sudah datangi Kapolres, Bupati dan seluruh elemen terkait penolakan itu,” terangnya.

Penolakan dari para ormas islam terkait keberdaan KCM Pamekasan mendapatkan respon dari sejumlah masyarakat hingga para pelaku seni. Salah satunya, remaja asal kelurahan kowel, Ahmad Zainal. Ia menilai penolakan terhadap keberadaan KCM hanya akan menghambat kemajuan pamekasan.

“Susah berkembang kalau terus-terusan seperti itu, padahal banyak masyarakat yang rindu akan hadirnya bioskop,” terangnya. Rabu (12/2/2020).

Ia berharap, ulama Pamekasan tidak terlalu mengintervensi dengan cara cara seperti itu. Lebih-lebih menilai tempat hiburan sebagai sarana maksiat.

“Saya kira itu alasan klasik, alasan yang kurang logis, kecuali kalau pamekasan ini akan dibiarkan stagnan,” tutupnya. [hasib/faid]

Comment