JARRAK Dukung Pemerintah Revisi PP 99/2012, Ini Alasannya
JAKARTA, (News Indonesia) – Rencana pembebasan bersyarat Ustad Abu Bakar Ba’asyir oleh pemerintahan Joko Widodo dinilai sebagai i’tikad baik menyangkut hak asasi. Meski akhirnya urung karena kelengkapan syarat urgen yang tak terpenuhi, tetapi langkah Presiden Jokowi mempertegas kedudukan hak dasar wargabinaan perlu diapresiasi.
Hal tersebut disebutkan oleh Sekretaris Jenderal Jaringan Reformasi Rakyat (JARRAK) Jakarta, Asip Irama. Melalui siaran resminya, Asip menyinggung soal penegakan, perlindungan, dan pemenuhan hak dasar wargabinaan. Bagi dia, seorang napi mesti memiliki hak dasar, meski dinyatakan bersalah melalui putusan mengadilan inkrah.
“Istilah wargabinaan itu kan bukan sebagai obyek yang terus bisa dipaksa (inqusitoir). Konstitusi jelas melindungi hak dasar mereka. Jadi bagi kami, setiap napi pemasyarakatan berhak mendapatkan remisi, cuti, asimilasi, bebas bersyarat, dan sebagainya,” ungkap alumnus Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) itu, Kamis (24/1/2019).
Hak dasar wargabinaan itu, lanjut Asip, diberikan sebagai rangkaian hak kodrati atau HAM, sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang No 12/1995. Pengetatan soal remisi napi, misalnya, tentu saja bertentangan dengan konstitusi.
“Konstitusi memperlakukan wargabinaan dengan layak melalui penghormatan terhadap hak dasar mereka. Tidak boleh ada diferensiasi dan perbedaan ukuran. Remisi itu kan melekat dengan sendirinya kepada napi, bahkan itu diatur tidak hanya secara domestik, tetapi juga internasional,” terang Asip.
Karena itu, menurutnya, pengetatan remisi napi korupsi melalui PP 99/2012 tentu saja bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi. Dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Lembaga Pemasyaraatan (LP) disebutkan, salah satu hak terpidana adalah mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
“Memang ada syarat remisi yang harus dipenuhi. Meski syarat tersebut sebagai kewenangan atributif yang diberikan kepada pemerintah melalui PP, tetapi wargabinaan berhak mendapatkan itu. Ini UU dan konstitusi,” kata Kornas Himpunan Aktivis Milenial Indonesia itu.
“Lagi pula, Indonesia berdiri sebagai Republik bukan samasekali negara kekuasaan, tetap negara hukum, rechtstaat. Karena itu, peraturan dan kebijakan yang menghilangkan remisi adalah tindakan otoritatif dan melanggar hukum,” lanjut dia.
Remisi Reintegrasi
Pengurangan masa tahanan atau remisi didasarkan pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mengacu pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21/2016 disebutkan, remisi diberikan kepada wargabinaan yang berkelakuan baik dan telah menjalani pidana lebih dari 6 bulan.
Pada titik itu, kata Asip, hak remisi narapidana didasarkan pada penegakan filosofis reintegrasi. Kejahatan pidana yang dilakukan oleh wargabinaan, lanjut Asip, harus diberikan kesempatan untuk menebus kesalahan dan kerugian.
“Kajian sosilogi hukum menerangkan bahwa, landasan filosofis remisi itu reintegrasi, yakni kesempatan untuk menebus kesalahan pidana dan kerugiannya. Caranya, tentu saja, harus bergumul langsung dengan masyarkat. Itu prinsip remisi,” papar Asip.
“Kemudian, istilah berkelakuan baik sebagai prasyarat remisi itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 34 PP No. 99 Tahun 1999, bisa dibuktikan dengan dua hal. Satu, tidak sedang menjalani hukuman disiplin. Dua, menggunakan program pembinaan dengan predikat baik,” imbuhnya.
Sengkarut PP 99/2012
Asip menjelaskan, setiap wargabinaan memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pengurangan masa tahanan atau remisi. Dia menilai, PP Nomor 99 Tahun 2012 bertentangan dengan Undang-Undang dan konstitusi. Bagaimanapun, pengetatan remisi napi korupsi terlihat hanya sebagai politik citra daripada penegakan hukum murni.
“Saya berharap tidak lagi ada diskriminasi remisi. Setiap wargabinaan ditempatkan dalm porsi hukum dan prosedur yang seimbang. Karena, penghilangan remisi itu melanggar HAM wargabinaan yang berkelakuan baik dan telah menjalani hukuman pidana. Itu mestinya dilindungi,” kata dia.
“Buktinya, remisi atau pembebasan bersyarat diberikan kepada terpidana korupsi kasus dana talangan Bank Century, Robert Tantular. Jangan lagi ada diskriminasi soal remisi, entah itu domain Dirjen PAS atau KPK. Mereka sama-sama memiliki hak yang dilindungi undang-undang dan konstitusi mendapatkan remisi dan sebagainya,” tegas Asip.
Sementara itu, pungkas Asip, pihaknya mendukung penuh terhadap pemenuhan hak dasar wargabinaan melalui revisi PP Nomor 99 Tahun 2012. Baginya, PP 99/2012 menegasikan HAM wargabinaan dan melanggar konstitusi. Dia khawatir, keputusan hukum hanya jadi instrumen balas dendam untuk membunuh hak rakyatnya sendiri.
Terkait
Comment