Budaya Arebbe, Tradisi Rakyat Sumenep Menjelang Ramadan yang Masih Lestari

Foto: Arebbe yang diterapkan lewat kegiatan ater-ater ini sejatinya bukan istilah yang baku. Istilah lainnya ialah selamatan atau dalam bahasa agama ialah shadaqah yang diadopsi menjadi kata sedekah. (Foto: Istimewa)

SUMENEP, (News Indonesia) – Beragam tradisi unik dilakukan ummat islam di Madura dalam rangka menyambut datangnya bulan suci ramadhan 1445 H. Diantaranya adalah tradisi Arebbe.

Bulan Ramadan merupakan bulan yang paling istimewa bagi umat Islam, menyambut kedatangan Ramadan menjadi sebuah tradisi yang kemudian mengakar dalam kehidupan umat Islam. Di berbagai belahan bumi, tak terkecuali di Indonesia yang majemuk masyarakatnya, tradisi menyambut datangnya bulan Ramadan menjadi semacam hukum yang tak tertulis.

Meski berbeda-beda cara di setiap daerah, tapi esensinya sama, mengikuti sunah Rasul SAW dalam memuliakan Ramadan. Seperti di Sumenep Madura misalnya, ada beberapa tradisi penting dalam menyambut bulan seribu bulan, baik yang masih terus dilestarikan maupun yang sudah mulai terkikis arus zaman.

Dalam urusan kuliner, Sumenep memang kaya ragam masakan khasnya. Warga Sumenep juga begitu antusias menyambut berbagai momen dengan masakan khas dan aneka cita rasa. Sehingga tak heran jika menjelang masuk bulan Ramadan maupun di bulan Ramadan, kegiatan masak-memasak berjamterbang tinggi.

Baca Juga: Si Manis ‘Berongko’, Kue Khas Masalembu Sumenep yang Melambangkan Kejujuran

Di Kabupaten Sumenep, ada tradisi menyambut bulan puasa yang disebut dengan arebbe atau ater-ater, saling mengantarkan makanan kepada kerabat dan tetangga dekat. Jenis makanan yang diantarkan tak harus mewah. Bisa berupa sepiring nasi putih dan opor ayam, atau nasi yang ditumpangi ketan hitam.

Pengantar makanan dan penerima, biasanya saling meminta maaf setelah terjadi serah terima makanan.

Arebbe yang diterapkan lewat kegiatan ater-ater ini sejatinya bukan istilah yang baku. Istilah lainnya ialah selamatan atau dalam bahasa agama ialah shadaqah yang diadopsi menjadi kata sedekah.

Tradisi ini terus hidup hingga saat ini dalam berbagai tingkat masyarakat. Sehingga tak salah, jika kesannya seperti tukar-menukar makanan antar warga suatu kampung atau desa.

”Biasanya warga itu memasak menu makanan yang selanjutnya diberikan pada tetangga sekitar, sanak famili, ke musala dan masjid terdekat,” terang Hawiyah, salah satu warga Giliraja, Kecamatan Giligenting, Sumenep, kepada media ini. Kamis (14/3/2024).

Di tempat lain di belahan bumi Sumenep, mekanisme arebbe yang berbeda merupakan hal biasa. Seperti di kawasan pedesaan misalnya. Masyarakat di sana memiliki teknis tersendiri.

”Kalau di tempat saya, arebbe itu dengan memasak makanan yang enak dan diantar ke musala terdekat,” kata Imamah, warga Bluto.

Untuk diketahui, selain urusan menyajikan makanan khas dalam menyambut Ramadan, melakukan bersih bersih di rumah, mosholla, masjid dan komplek pemakaman juga menjadi tradisi menjelang masuknya bulan suci yang tak luput dari kebiasaan warga Sumenep.

Budayawan Sumenep Ibnu Hajar menerangkan, arebbe atau ater-ater sudah menjadi budaya di Madura, masyarakat Sumenep khususnya.

filosofi ater-ater itu untuk mempererat silaturrahim, saling memberi dan menerima yang dilakukan menjelang Ramadan tiba.

“Biasanya Jumat terakhir menjelang Ramadan, saling berbagi makanan dari rumah yang satu ke rumah yang lain, budaya begini sungguh indah,” tuturnya.

Tidak hanya di desa yang masih kental, tradisi ater-ater di kota pun masih sama. Budayawan kelahiran Sumenep yang tinggal di seputaran kota itu menuturkan bahwa budaya ater-ater tiada lain untuk mengharapkan berkah dengan saling memberi kepada sesama.

Khusus di bulan Ramadan, tradisi ater-ater atau arebbe dilaksanakan hingga menjelang Idul Fitri. Tanggal 21 ramadan ke belakang atau dalam istilah Madura disebut lelekoran masih berlangsung.

Budaya ini pun dinilai Ibnu Hajar, selaras dengan anjuran agama islam bahwa di bulan Ramadan harus memperbanyak beribadah termasuk bersedekah.

“Ini menjadi tradisi yang kental di Madura, baik menjelang Ramadan maupun tanggal lekoran ke belakang,” imbuhnya.

Yang membedakan antara arebbe dan ater-ater, lanjut Ibnu Hajar, tradisi ater-ater dilakukan antar keluarga dan tetangga, sedangkan arebbe diantarkan masyarakat Madura ke langgar atau musolla untuk guru ngaji dan kiai.

“Jadi ada fase tersendiri, biasanya rebbe itu berbentuk rasol,” tukasnya. (*)

Comment